Romli Atmasasmita: Di Balik Perppu Ormas dan Kritik Kerasnya terhadap KPK
Wawancara

Romli Atmasasmita: Di Balik Perppu Ormas dan Kritik Kerasnya terhadap KPK

Kerap berseberangan dengan KPK, Romli tak takut bully. Ia mengaku tak takut melawan arus, meski cuma sendirian.  

Novrieza Rahmi
Bacaan 2 Menit

 

 

Ketika dulu merumuskan UU KPK, apa semangatnya?

Dulu tahun 1999, kita punya UU (No.28 Tahun 1999) tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN. Semua lapor harta kekayaan (penyelenggara) negara ke KPKPN (Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara). Kemudian, KPKPN dibubarkan (Presiden) Megawati. Kita sedang merancang UU KPK, pembahasan di DPR. Akhirnya gerbong KPKPN pindah ke KPK. Tadinya, pencegahan di KPKPN, penindakan di KPK, (tapi) karena dibubarin, pencegahan masuk KPK. Makin panjang gerbongnya. "Masinisnya" itu-itu juga yang lima. Saya bilang, berat ini. Pasti pencegahan terabaikan, penindakan terus. Benar. Malah tugasnya apa, korsup (koordinasi supervisi), mengawasi fungsi jaksa kalau tidak becus, ambil alih, terus monitoring, evaluasi, luar biasa tuh KPK.

 

Kita waktu itu bikin UU KPK, karena lihat situasi habis reformasi. Pengalaman zaman Pak Harto, orde baru yang susah tembus ke atas, harus izin gubernur, gubernur harus izin Presiden. Lama. kejaksaan, kepolisian, mandek karena kepolisian ada Kapolri, kejaksaan ada Jaksa Agung, semuanya alat negara. Untuk itulah kita bikin UU KPK. Sebelum itu ya kita keliling dulu ke Washington, Australia. Semua, LSM itu keluarnya sama saya dulu. Saya bawa kemana-mana, ke Australia, Hongkong, Malaysia, Singapura.

 

Terus saya bilang, kalau begini, penyidikan dipisah-pisah kayak sekarang, tidak akan jalan. Sudahlah, penyelidikan, penyidikan, penuntutan satu tangan. Masuk draf sampai ke DPR, kontra semua. Kejaksaan nggak suka. Kapolri nggak suka. Ingat saya. DPR juga katanya nggak suka. Saya bilang, kalau mau beres ya itu. Kalau nggak beres ya silakan balik lagi. Akhirnya setuju kerena reformasi kan.

 

Draf awal seperti apa?

Tadinya malah draf awal lebih gila lagi! Beruntung saya, kalau ingat kejadian KPK seperti sekarang, ngeri juga. (Draf awal saya) penyelidikan, penyidikan, penuntutan korupsi hanya KPK. KPK memonopoli penyelidikan, penyidikan, penuntutan. Kejaksaan, polisi tidak boleh lagi, begitu bahasanya. Tegas banget. Beruntung diancam saya, "Pak Dirjen, kalau begini tidak akan ada KPK". Saya mikir bagaimana ya? Ya sudah, diakalin. Saya ingat statuta ICC tahun 1998. Jadi, ICC HAM, Mahkamah Internasional di Den Haag itu baru bisa masuk ke suatu negara kalau negara itu unwilling atau unable. Selama dia willing and able, dia (ICC) tidak akan masuk. Saya terapkan (model itu) di UU KPK, Pasal 9, dalam rangka koordinasi dan supervisi (KPK bisa masuk).

 

Karena saya nyerah, sudahlah, mereka (KPK dan Kejaksaan) dua-duanya penyelidikan, penyidikan, penuntutan. Silakan. Tapi satu, Kejaksaan dikoordinasi dan disupervisi sama KPK. Nanti, kalau dia macam-macam, diambil alih. Nah, "macam-macamnya" di Pasal 9 ada 12 alasan. Kalau polisi, penyelidikan, penyidikan, dia kan harus lapor ke KPK, SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan). Tugas KPK cuma mantau. Ambil alih. Setuju semua. Jadi, (kejaksaan dan kepolisian) masih punya kewenangan. Senang tuh polisi, jaksa. Jadilah, terima. Pokoknya KPK tetap jadi.

 

Bagaimana komisioner? Lima, saya bilang. Tiga tidak cukup. Ini korupsi, suap. Mega korupsi kan sangat sistemik, terorganisasi, tidak mungkin tiga (orang). Menurut saya lima. Pancasila kan lima, saya bilang. Kenapa kayak begitu? Saya bilang, supaya kalau mau menyuap, lima-limanya harus disuap, kan susah bargaining lima-limanya. Jadi, bagaimana? Nyadap tidak perlu izin, nyita, gini kan, sudah, kewenangan. Tapi tidak boleh SP3 (penghentian penyidikan). "Lho kenapa. Ini kan SP3 (ada di) KUHAP?" Begini, kita tidak mau kembali transaksional dalam lid, dik, dan tut penanganan tipikor. Jangan kembalikan ketentuan itu (secara langsung kepada) KPK. Sudah kewenangannya luar biasa, bisa SP3, matilah! Jadi transaksional. (Bisa) Lebih gila lagi.

 

(Lalu, penyidik KPK) Tetap polisi, jaksa itu, tapi berhentikan dulu dari sana. Jadi, berhentikan dari institusi asalnya, diangkat kembali oleh pimpinan KPK. Jadi, ketentuan bahwa KPK bisa mengangkat penyidik, itu bukan penyidik sendiri (independen). Tapi diotak-atik nih (UU KPK), di bawa ke MK. MK setuju, tapi ada embel-embelnya. Boleh mengangkat penyidik sendiri, tapi dia harus sesuai dengan peraturan UU ASN (Aparatur Sipil Negara).

 

UU ASN itu hanya dua jenis pegawai. PNS (pegawai negeri sipil) dan pegawai yang dikontrak. Jadi, kalau dia mau berhentikan polisi, dia harus diangkat (sebagai) pegawai negeri atau pegawai kontrak. (Praktik di KPK) Apa sesuai dengan ASN? Tidak. Dia tidak mau pakai itu. Dia bikin aturan PP sendiri, dengan Peraturan Pemerintah, dipaksain tiga, pegawai tetap, tidak tetap, pegawai diperbantukan. Jadi, ini bertentangan dengan UU ASN.

 

Anda melihat KPK sekarang seperti apa?

Ya kalau dia (KPK) ceroboh terus, ya celaka. Maksudnya, dia supaya lebih berwibawa, lebih dipahami, dan dia kan ada bawa penyidik karena ada polisi, jaksa yang berpengalaman, tidak mungkin main-main. Yang perkembangannya kok jadi berpolitik, ada deal-deal, kok kasus ini maju, kasus ini tidak. Lho, sama saja dong sama polisi jaksa kalau kayak gitu saya bilang. Ini tidak benar nih. Makin lama, makin lama.. kok bukan karena hukumnya, lihat orangnya. Hanya kata orang, orangnya ini tidak benar, terus dianggap tidak benar. Temuan bukti-bukti permulaan itu diabaikan, sehingga terjadi kasus Budi Gunawan, Hadi Poernomo, 36 tersangka yang buktinya tidak jelas sampai sekarang.

 

Bukan ngomong bohong. Saksinya ada. Disangka saya nggak berani ngomong. Nah, itu  buruknya di kita. Istilahnya, kita nggak boleh buka aib. Lho, kalau dia buka aib orang lain bisa kok. Kita kan harus buka yang benar. Benar (katakan) benar. Salah (katakan) salah. Ini kesalahan pemimpin kita, selalu menutup-nutupi kesalahan yang fatal 36 tersangka lho. Nggak boleh SP3 lagi. Bayangin. Makanya dorong Pansus (Panitia Khusus Hak Angket KPK) masuk. Harus masuk. Lihat yang benar. Kita harus perbaiki. KPK boleh ada, tapi perbaiki UU-nya, perkuat, sehingga tidak macam-macam kayak gini.

 

KPK, kalau saya lihat ya, gagal dari misi awal sebetulnya. Dia ingin good governance, pencegahannya lupa, penindakan diperbesar, sehingga tetap saja. Misalnya gini, harusnya ya korsup tuh gini. Kalau KPK masuk (operasi tangkap tangan -OTT) ke Kementerian Perhubungan.. Tapi, jangan ditinggal. Korsup mestinya. Datang, ambil (tangkap), dikorsup. Bagaimana sampai begini? Nah, perbaiki. Ini nggak. Tinggal, nanti ada lagi, tangkap lagi. Kayak pemadam kebakaran. Bukan itu maksudnya! Makanya disebut UU KPK itu UU yang terintegrasi, UU kelembagaan yang terintegrasi, satu sama lain mengisi. Tiap-tiap Deputi (di KPK) tuh saling connect. Salah, kalau cuma tangkap, heboh, tinggalin, nanti ada lagi, tangkap. Wah, itu mah namanya pameran. (Seharusnya) Dia korsup, sehingga kementerian/lembaga ini tidak ada lagi yang korupsi. Itu baru berhasil.

 

Nah, selama sekarang, pakai OTT makin banyak, itu berhasil atau keliru? Bukan itu. Itu mencari keberhasilan, target dan output, bukan outcome. Yang kita tahu, setelah sekian banyak masuk di KPK, tipikor, conviction rate 100%, hasilnya apa? Sudah sekian tahun kayak apa? Ada lagi, ada lagi. Berarti apa? pencegahannya nggak jalan. Bukan membangun sistem dia, (tapi) membangun bagaimana orang masuk bui, sudah. Jadi, (KPK) ke luar dari misi awal. Baca Juga: Romli Usul Fungsi Pencegahan KPK Dialihkan ke Ombudsman

 

Sebagai perumus UU KPK, menurut Anda apa yang membuat KPK beberapa kali kalah di praperadilan?

Begini, ketika Ruki pertama (pimpinan) KPK, kan belum ada peristiwa yang hebat-hebat, Antasari (Azhar). Nah, nih jilid tiga hebat-hebat kan. Saya baca, kok kelihatannya SOP (Standard Operating Procedure) KPK rahasia. "Kita mau tanya, bagaimana sih Anda itu menetapkan tersangka?", "Oh, nggak, ini SOP kami". Komisi III minta, nggak boleh. Lalu, saya bilang begini deh. Kalau memang dia nggak mau terbuka, supaya terbuka, di praperadilan saja. Di praperadilan itu, Pasal 77 (KUHAP) tidak ada ada penetapan tersangka kan. Nah, test case-nya Budi Gunawan.

 

(Dua orang datang kepada Romli minta tolong). Lalu, saya bilang, ada apaan sih. Nggak nyangka tuh saya. Ini buktinya apa bahwa ini nggak benar? BAP (Berita Acara Pemeriksaan) nya Budi Gunawan, lima halaman. Saya bilang, eh BAP saya ini, (kasus) Sisminbakum, segini nih, tebal. "Kok bisa lima tuh bagaimana?", "Ya, nggak tahu". Saya baca, kesimpulan dari PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan), dua keterangan saksi, dua keterangan PPATK, satu kesimpulan dari tim KPK.

 

Kalau ini kan nggak benar, tapi tersangka. Ya sudah, saya lawan! Kalau begitu, ini perlu dibongkar, nggak benar nih, saya lawan. Lawan, kalah (KPK)! Nah, masuklah (objek) praperadilan, termasuk penetapan tersangka (sebagai objek praperadilan). Coba kalau KPK nggak sembarangan, dulu nggak akan ada peristiwa itu. Dengan begitu, KPK harus berhati-hati, termasuk juga polisi, kejaksaan, dia akan lebih hati-hati lagi, karena semua berlomba-lomba ke praperadilan kan.

 

Begitu praperadilan kalah, mikir dia, bingung kan. Tapi, nggak diubah. Sejak (BG), dia nggak ada perubahan mekanisme, SOP yang itu-itu juga, sampai sekarang pun, SN (Setya Novanto) mekanisme yang sama sejak zaman BG di praperadilan. Nggak ada perubahan sampai sekarang. Contoh, (penetapan tersangka) SN yang pertama.

 

Bagaimana dengan kekalahan KPK di praperadilan Hadi Poernomo?

Hadi Poernomo begitu. Datang ke rumah. "Ada apa?" Nggak kenal saya. "Karena lihat Budi Gunawan menang". Saya bilang, tunggu dulu. Jangan lihat Budi Gunawan menang. Nggak, saya lihat dulu. Cerita dari A sampai Z. Oh, kalau begini memang dendam dan saya nggak suka. Dia bilang, saya kan Kepala BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), harus periksa semua lembaga menurut UU. "Nggak mau pak mereka diperiksa". Dengan alasan kami lembaga independen, KPK.

 

Saya bilang, lembaga independen yang mana? Saya yang bikin UU. Pasal 3 (UU KPK) tuh, dalam menjalankan tugas wewenangan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, KPK lembaga independen. Tidak bisa dicampuri siapapun. Baca penjelasannya, tidak bisa dicampuri eksekutif, legislatif, yudikatif, dan siapapun. Dalam hal apa? Tugas wewenang. Tugas wewenang itu diatur di Pasal 6, koordinasi, supervisi, penyelidikan, penyidikan, penuntutan monitoring, evaluasi. Hanya itu yang nggak boleh dicampuri.

 

Selebihnya, kinerja, keuangan, harus! karena yang dipakai duit negara, bukan duit dia. Jadi, laporan BPK 2015 sudah ada temuan pidana dan itu mereka nggak suka. Diminta dihapus. "Oh nggak bisa, ini temuan". Untuk masuknya susah, sudah (ada) hasilnya, dihapus. Nggak bisa. "Bapak kayak nggak punya dosa". "Eh, kenapa?" katanya. "Ayo silakan", dilawanlah, dia tantang Hadi Poernomo.

 

Begitu (Hadi Poernomo) pensiun, langsung tersangka. Buktinya hanya katanya, kongkalikong dengan BCA (Bank Central Asia). Saya bilang, kalau "katanya", mana ada bukti "katanya"? Saya bilang, praperadilan saja. Saya maju lagi. Ini nggak beres-beres. Praperadilan, (KPK) kalah lagi. Sudah kalah lagi, bukannya makin introspeksi, (malah) wah Pak Romli mihak koruptor. Masa bodoh. Tapi, kamu perbaiki dong. (Mereka) nggak mau, merasa benar. Nah, itu dia, didukung LSM, para ahli yang nggak mau mengerti. Eh, muncul lagi SN.

 

Prof DR Romli Atmasasmita, SH, LLM

Lahir : Cianjur, 1 Agustus 1944

Pendidikan :

Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (1969)

Master of Laws dari University of California, Berkeley (1981)

Doktor Ilmu Hukum Universitas Gajah Mada (1996)

Dikukuhkan menjadi Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran (1999)

 

Anda sekarang kerap berseberangan dengan KPK, apa tidak khawatir dicap negatif?

Kalau saya tuh orangnya, dari dulu senang pada tantangan, senang challenges ya. Sejak kecil, saya tuh sudah dididik untuk menghadapi tantangan, tapi saya tidak takut. Orang tua saya sendiri pun, kalau kurang pas di mata saya, ada salah, saya lawan. Itu jiwa saya begitu, dan selalu saya menghadapi. sejak saya sekolah di FH Unpad (Fakultas Hukum Universitas Padjajaran) pun sama. Bukan saya mau cari ribut. (Saya) Tidak suka pada sesuatu yang tidak betul. Mau lurus! Apalagi mendzalimi, itu saya tidak suka. Apalagi, saya pernah dizalimi kan, kasus Sisminbakum dulu. Pernah dibui lima bulan lima hari. Bagaimana rasa "enaknya" tanda petik, dikerjain orang. Makin yakin bahwa saya harus berjuang demi keadilan dan benar. Siapapun, omongan apapun.

 

Alhamdulillah ya, walaupun tidak enak begitu, tapi musibah itu betul-betul hikmah bagi saya. Apa? Tahu keadaan di dalam (tahanan). Saya di situ, baru (menyadari). Oh, Tuhan bilang, "Eh lu yang bikin UU ya, lu rasain, masuk. Lihat hasilnya". Benar, 17 tahanan, termasuk si Tantular, Hermanus, (kasus) Century, 7 itu nggak ada bukti. Saya tanya, rupanya nggak ngasih duit. Diperas nggak mau. Dicari-cari. Nih, Prof kan bikin UU, ternyata Pasal 2 dan 3 unsur kerugian negara itu dijadikan duit. Transaksional.

 

Maksud Anda, transaksional?

Kenapa? Kena Pasal 2 ancamannya minimal tiga tahun, Pasal 3 minimal satu tahun. Nih, mau yang mana? Begitu. Kalau yang mau tiga tahun, sekian, yang mau setahun, sekian. Padahal, waktu saya bikin UU itu sama Andi Hamzah, Pasal 2 itu khusus "setiap orang" selain penyelenggara negara. Pasal 3 untuk penyelenggara. Kenapa? Karena korupsi tidak mungkin dikerjakan seorang penyelenggara negara. Dia tidak mungkin korupsi kalau tidak ada yang iming-imingi untuk korupsi. Siapa yang punya duit? Swasta.

 

(Ketika dulu merumuskan UU Tipikor) Minimumnya (pidana) sama, semua saya buat minimum tiga tahun. DPR bilang, tidak bisa Pak Romli, yang jahat kan swasta. Pegawai negeri kan cekak, gmn sih. Ya sudah gimana kalian. Akhirnya yang Pasal 2 tiga tahun, yang Pasal 3 satu tahun. Padahal, tadinya, kalau minimumnya sama kan tidak ada tawar-menawar.

 

Setelah saya masuk (rumah tahanan), baru tahu. Nah, setelah itu, saya bilang, ah Andi (Hamzah), jangan bangga dengan UU kita lho. Kita cuma dikerjain saja. Malah ada yang (ke) saya, terima kasih Prof. Kenapa kamu? Ya, kami diberi celah hukum. Astagfirullahaladzim. Tuh, sekarang mau tanya saya. Apakah UU saya, hebat-hebat saya bikin itu, semua itu, dari segi moralitas, ketuhanan, kemanusiaan, benar nggak? Nggak juga! Keliru saya. Keliru saya memahami, bahwa orang yang melaksanakan UU itu bukan saya, (tapi) orang lain. Orang lain yang punya pikiran lain, punya moralitas lain dari saya sendiri. 

 

Jadi, Anda tidak takut untuk melawan arus?

Makanya saya melawan arus dan nggak apa-apa, terus saja. Biarin saya sendirian. Masa bodoh. Kata orang Pak Romli pro koruptor, biarin. Dulu juga saya paling anti koruptor. Kalau ditelusuri dari dulu, siapa saya yang dulu membela-bela KPK, ke MK tiga kali menang terus kan saya. Waktu saya bikin susah payah, jungkir balik itu, membela-bela KPK, tipikor, semua dimana? Nggak involve tuh. Saya yakin, sejarah akan membuktikan bahwa saya benar, mereka yang nggak benar. Dulu saya merasa benar, sekarang saya merasa nggak benar. Dulu saya merasa benar, mereka merasa Pak Romli keliru. Sekarang saya sudah merasa benar, mereka merasa tetap Pak Romli tidak benar. Ya mau bagaimana lagi.

Tags:

Berita Terkait