Romli Atmasasmita: Di Balik Perppu Ormas dan Kritik Kerasnya terhadap KPK
Wawancara

Romli Atmasasmita: Di Balik Perppu Ormas dan Kritik Kerasnya terhadap KPK

Kerap berseberangan dengan KPK, Romli tak takut bully. Ia mengaku tak takut melawan arus, meski cuma sendirian.  

Novrieza Rahmi
Bacaan 2 Menit

 

Pemerintah menganggap kemarin ini ada gejala kok sepertinya ada kelompok-kelompok yang ingin mengubah UUD, Pancasila, nah bagaimana? Saya bilang kalau pake UU ini, ya tunggu saja sampai selesai ribut. Dari lapangan pemerintah tidak bisa ambil keputusan. Saya bilang, ini negara ada dimana? Katanya negara harus hadir. Saya bilang begitu ya. Bagaimana mau hadir, UU nya tidak bisa hadir. Makanya, saya katakan, kegentingan memaksa itu ada di Perppu Ormas sebetulnya.

 

Walaupun ada sebagian kalangan yang mengkritik Perppu ini?

Kalau sudah enjoy dengan UU yang ada, sehingga dia bisa berbuat semaunya. Bicara semaunya. Polisi tidak bisa apa-apa, hanya pakai UU UU No. 9 Tahun 1998 (tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum) yang mengatur supaya demo tertib. Hanya itu. Kalau toh dia pakai KUHP, orang per orangnya yang dihukum. Tapi ini kan atas nama ormas, bagaimana? Saya bilang, (dalam) Perppu kita ubah semua prosesnya, tidak perlu pemerintah harus ke pengadilan, pokoknya kasih pembinaan, kasih peringatan, sekali aja. Dalam tujuh hari bandel juga, hentikan kegiatan, masih bandel juga, bubarin. Bubarin itu memang tindakan sifatnya tindakan unilateral, sepihak, tapi itulah kewajiban pemerintah untuk kepentingan yang lebih besar. Jangan sampai terjadi chaos, konflik antara masyarakat.

 

Jadi, demi untuk tujuan yang lebih besar, dalam keadaan seperti itu, boleh. UUD, Pasal 22 UUD, dalam hal kegentingan yang memaksa, pemerintah bisa mengeluarkan Perppu, keadaan darurat kan. Keadaan darurat itu sudah diterjemahkan oleh MK, tiga hal. Sudah ada aturannya kapan disebut darurat. Kemudian, UUD, Pasal 28 J sudah memberikan celah hukum untuk kita bisa mengambil tindakan membatasi kebebasan, membatasi HAM. Dan, satu kebetulan, Pasal 28 UUD, hak berserikat berkumpul dan sebagainya itu derogable right, hak yang bisa dikesampingkan.

 

Gara-gara Perppu Ormas, pemerintah disebut otoriter?

Saya pikir ya Perppu harus. Makanya, saya bertahan di Ratas (Rapat Terbatas) karena saya Staf Khusus Menko (Polhukam). Nah, soal dia nggak suka, suruh saja di TUN. Wah itu kan katanya nggak ada due process of law. Saya bilang, kalau yang namanya due process of law itu bukan dalam pembuatan UU, semua UU pasti merujuk pada due process of law, tapi pada implementasi UU. Ya tinggal pengawasan. Benar nggak (ormasnya) dibina? Benar nggak diperingatkan? Kan gitu tahapannya. Tidak mungkin kita melihat UU tidak due process, tanpa kita tahu action-nya seperti apa.

 

Mereka tidak tahu bahwa dalam proses pembuatan UU, yang mau dilihat (itu) satu, asas proporsionalitas, kedua, asas subsidairitas. Apa proporsionalitas? Kalau kita ingin mencapai tujuan, harus sama antara cara dan tujuan. Apa subsidairitas? Kalau kita mengambil langkah, kita harus memperhitungkan risiko yang paling kecil. Ya Perppu ini sudah memenuhi dua syarat itu sebagai UU. Nggak ngerti kan mereka. Jadi, mereka tuh nggak berpikir efisien dan bagaimana yang maksimal. Mereka berpikir nih otoriter, ini sama saja dengan orde baru. Saya bilang, (kalau) orde baru, menahan orang setahun tidak diapa-apain, boleh. Ditangkap tanpa dasar, boleh.

 

Zaman saya di Departemen Kehakiman dan HAM, saya Dirjen, bikin Perppu (Anti) Terorisme, malah berlaku surut. Walaupun (ketentuan berlaku surutnya) dibatalkan MK, tapi yang penting tetap tercegah semua. Dengan berlaku surut, Polisi masuk dengan dasar itu bisa membongkar organisasi. Begitu menangkap saja tujuh hari, menahan bisa enam bulan, jadi lama, organisasi terbongkar. Walaupun mereka bilang, oh tidak bisa berlaku surut, biarin saja. Yang penting sudah jalan. (Perppu) Terorisme berlaku surut lebih jahat dari ini (Perppu Ormas). Kalau dibilang undue process, ya ini (Perppu Anti Terorisme).

 

Perppu Ormas membuat Anda di-bully?

Saya di-bully semua orang di twitter, habis. Saya slow saja. Tuh Prof PKI, HTI kan ngomel. Saya bilang, saya ini bukan PKI lho. Kakek saya Islam, saya asli Garut, agamis saya bilang. Saya itu bukan PKI, DI (Darul Islam) iya, saya gituin saja. Kalau orang Garut itu semuanya DI. Memperjuangkan negara Islam. Jadi, saya tidak mungkin PKI. Kalau mau dituduh, itulah, tidak ada masalah. Memang begitu dulunya. Tapi, sudahlah, beda sekarang situasinya, NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait