Penikmat Rokok Tuding UU Kesehatan Pesanan Asing
Utama

Penikmat Rokok Tuding UU Kesehatan Pesanan Asing

Penelitian yang menyebut rokok sebagai zat adiktif dianggap tidak jelas dan transparan.

MVT
Bacaan 2 Menit

 

Sedangkan Indonesia, hanya menghasilkan 2,67 persen. “Namun, Indonesia jadi sasaran utama pengendalian produksi tembakau. Kita (Indonesia) diharapkan menekan produksi tembakau dengan mengatakan itu berbahaya,” ujarnya.

 

Pasal 113

(2) Zat adiktif meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang

penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya.

 

Menurut Salamuddin, banyak kalangan khususnya petani dan kelompok penggunan tembakau mempermasalahkan hal ini. Pasal ini menjadi ancaman penerimaan APBN, petani tembakau, industri rokok, dan semua orang yang terlibat dalam rantai produksi tembakau.

 

Ditertawakan

Dimintai pendapatnya, mantan Anggota Tim Pansus RUU Kesehatan, Hakim Sorimuda Pohan menanggapi dengan santai. Dokter spesialis kandungan lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini bahkan sedikit menertawakan tudingan Salamuddin.

 

Dia menyatakan pemahaman bahwa tembakau merupakan zat adiktif bukan karena mengacu pada penelitian WHO. “Itu sudah sejak tahun 1930-an diterima sebagai teori dalam dunia kedokteran/farmasi,” sergahnya via telepon pada hukumonline.

 

Hasil penelitian WHO tersebut, lanjutnya, hanya mempertegas bahaya tembakau sebagai zat adiktif. Sebab, tembakau memang memiliki kandungan nikotin yang berbahaya terutama ketika dibakar. “Bahkan semua produsen rokok, termasuk produsen asal AS, Phillip Morris, juga sudah mengakui,” terangnya.

 

Pohan melanjutkan upaya membuat aturan tembakau berbahaya sebenarnya sudah diwacanakan sejak lama. Sejak penyusunan UU Kesehatan yang lama, UU No.23 Tahun 1992, hal ini sudah akan dimasukkan. “Namun ternyata kalah kuat dengan lobi industri rokok,” ujarnya.

Tags: