RKUHP, Sekarang Atau 50 Tahun Lagi?
Kolom

RKUHP, Sekarang Atau 50 Tahun Lagi?

Kekhawatiran bahwa RKUHP itu nantinya tidak sempurna, memang perlu dipandang bahwa pada akhirnya tidak ada peraturan perundang-undangan yang sempurna.

Bacaan 2 Menit

 

Politik Hukum

Sudah terlalu banyak dana dan energi yang dihabiskan guna membahas RKUHP selama 58 tahun lebih, persoalannya sesuai ketentuan pembahasan undang-undang harus selesai pada periode yang sama (tidak dikenal pembahasan lanjutan) dalam DPR. Hal ini artinya jika pembahasan RKUHP tidak selesai pada periode kerja DPR 2014-2019 maka anggota DPR periode 2019–2024 harus memulai pembahasan RKUHP dari awal lagi (mulai dari Prolegnas, naskah akademik dan seterusnya) yang belum tentu akan selesai mengingat persoalan hukum selalu bertambah pelik. Jika hal tersebut terjadi maka Indonesia tetap akan menggunakan KUHP warisan kolonial Belanda, sehingga akan jauh lebih baik jika RKUHP yang ada saat ini disahkan sebagai KUHP.

 

Jika RKUHP tidak kunjung disahkan sesungguhnya korbannya adalah masyarakat sendiri, karena masyarakat akan terus terbelenggu dalam aturan kolonial. Kelsen (1986), menjelaskan bahwa dalam asas hukum sum ius sum iuria bahwa aturan hukum yang terlalu kompleks justru tidak akan memberi keadilan itu sendiri dalam masyarakat. Artinya pada kondisi saat ini perdebatan teknis mengenai substansi RKUHP perlu dikesampingkan dan pihak terkait perlu segera menemukan kompromi hukum atas sisa persoalan pembahasan tersebut.

 

Kekhawatiran bahwa RKUHP itu nantinya tidak sempurna, memang perlu dipandang bahwa pada akhirnya tidak ada peraturan perundang-undangan yang sempurna. Semua peraturan perundang-undangan pada akhirnya tidak pernah sesuai mengingat masyarakat selalu lebih dinamis dari hukum tertulis.

 

Judicial review melalui MK/MA menjadi jawaban atas hal tersebut, mengingat judicial review juga merupakan salah satu bentuk check and balances melalui jalur yudikatif. Artinya, jika dipandang aturan hukum tertulis (yakni peraturan perundang-undangan) mengandung kekeliruan atau perlu disesuaikan maka secara hukum masih ada langkah untuk melakukan koreksi, sehingga tidak perlu ada beban maupun kekhawatiran berlebih terkait pengesahan RKUHP nantinya.

 

Perspektif yang harus digunakan adalah ukuran urgensitas untuk memiliki aturan hukum yang sesuai dengan kondisi masyarakat, karena jika pembahasan RKUHP berlarut-larut dan tidak disahkan pada periode ini maka akan semakin lama KUHP yang ada saat ini semakin kehilangan fungsi sebagai law as tool of social engineering dan law as a tool of social control.Perlu dipahami sesuai yang diuraikan Pound (1962), bahwa peraturan perundang-undangan merupakan tools untuk mengontrol dan merekayasa perilaku masyarakat sehingga harus dibuat dan disesuaikan dengan zamannya.

 

Kodifikasi

Negara dengan sistem hukum Eropa Kontinental seperti Indonesia memang biasanya menggunakan model kodifikasi, sehingga RKUHP juga perlu dipandang sebagai bentuk revisi dari kodifikasi yang dibuat zaman kolonial yakni WvS. Tentu mempertentangkan mazhab kodifikasi dan de-kodifikasi justru akan kontraproduktif pada pengesahan RKUHP. Mengapa? Karena mempertentangkan pola pikir yang berbeda, kodifikasi menggunakan pola pikir deduktif sedangkan de-kodifikasi menggunakan pola pikir induktif.

 

Model kodifikasi akan menghasilkan hukum yang bersifat umum (general) oleh sebab itu kerap kali hukum hasil kodifikasi diletakkan sebagai lex generalis. Seperti contohnya WvK (Wetboek van Koophandel) atau Kitab Undang Undang Hukum Dagang demikian pula dengan BW (Burgerlijke Wetboek) yang juga sama halnya dengan WvS (Wetboek van Strafrecht) yang juga diletakkan sebagai lex generalis.

Tags:

Berita Terkait