Respons Berbeda 2 Jenderal Polisi Setelah Divonis Bersalah Terima Suap Joko Tjandra
Utama

Respons Berbeda 2 Jenderal Polisi Setelah Divonis Bersalah Terima Suap Joko Tjandra

Prasetijo menerima, sementara Napoleon ajukan banding.

Aji Prasetyo
Bacaan 5 Menit

Ia terbukti bersalah melanggar Pasal 5 ayat 2 juncto Pasal 5 ayat 1 huruf a UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

"Mengadili, menyatakan terdakwa Irjen Pol Napoleon Bonaparte secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama," ujar majelis.

Sejumlah pertimbangan memberatkan hampir sama dengan Prasetijo seperti perbuatannya tidak mendukung pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, ia juga dianggap menurunkan citra, wibawa dan nama baik Polri. Namun ada dua hal pertimbangan majelis yang menjadi perhatian. “Terdakwa dapat dikualifikasi tidak ksatria ibarat lempar batu sembunyi tangan berani berbuat tetapi menyangkali perbuatannya. Terdakwa sama sekali tidak menunjukkan penyesalan atas terjadinya tindak pidana dalam perkara ini,” terang majelis.

Sementara pertimbangan meringankan ia bersikap sopan selama persidangan, belum pernah dijatuhi pidana, telah mengabdi sebagai anggota Polri selama lebih dari 30 tahun, mempunyai tanggungan keluarga. Kemudian selama persidangan terdakwa hadir dengan tertib, tidak pernah bertingkah dengan macam-macam alasan yang dapat membuat persidangan tidak lancar.

Dalam analisa yuridisnya majelis mengatakan sejumlah saksi dan barang bukti telah menunjukkan adanya pemberian uang dari Joko Tjandra melalui Tommy Sumardi kepada Irjen Napoleon. Napoleon dinyatakan hakim menerima uang AS$370 ribu dan Sin$200 ribu, atau jika dirupiahkan sekitar Rp7,4 miliar. Salah satunya fakta hukum rekaman CCTV memperlihatkan Tommy Sumardi di Gedung TNCC Polri membawa paper bag putih putih berisi uang dan disusul oleh Brigjen Prasetijo. Setelah meninggalkan lokasi paper bag itu tidak lagi terlihat dan diduga diberikan kepada Napoleon.

Kemudian Napoleon juga disebut hakim sengaja bersurat ke imigrasi agar imigrasi menghapus nama Joko Tjandra di sistem perlintasan dan mengirimkan surat kepada Ditjen Imigrasi sehingga nama Joko Tjandra terhapus.Padahal, kata hakim, Kejaksaan Agung masih membutuhkan red notice Joko Tjandra. Saat itu Djoko Tjandra masih menjadi buron kasus hak tagih (cessie) Bank Bali.

Karena perbuatan Napoleon itu, Joko Tjandra bisa masuk RI dari Malaysia melalui jalur darat Pontianak. "Di persidangan terungkap bahwa setelah Divhubinter bersurat ke imigrasi dan Anna Boentaran, Divhubinter bersurat ke Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejagung bersurat yang isinya nama Joko Tjandra sudah tidak terdata di imigrasi, karena Kejaksaan Agung tidak meminta. Dari situ Imigrasi menghapus nama Djoko Tjandra dari SIMKIM, oleh karenanya Joko Tjandra bisa masuk ke Indonesia," tutur hakim.

Perbuatan Napoleon dan Prasetijo dinilai hakim bertentangan sebagai anggota penegak hukum tidak membantu Joko Tjandra yang berstatus buron yang seharusnya memberi tahu ke Kejaksaan agar mengajukan pembaruan, bukan secara intens bersurat ke imigrasi, sehingga berujung penghapusan nama Joko Tjandra.

Diketahui, putusan hukuman terhadap Napoleon ini lebih tinggi dibandingkan tuntutan jaksa. Jaksa sebelumnya menuntut Napoleon 3 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan.

Atas putusan ini Napoleon menolak tegas dan mengajukan banding. “Cukup sudah pelecehan martabat yang saya derita dari Juli tahun lalu sampai hari ini.  Saya lebih baik mati daripada martabat keluarga dilecehkan seperti ini. Saya menolak putusan hakim dan mengajukan banding,” tegasnya. Sementara penuntut umum memilih pikir-pikir selama 7 hari.

Tags:

Berita Terkait