Refleksi Penegakan Hukum Indonesia 2018
Kolom

Refleksi Penegakan Hukum Indonesia 2018

​​​​​​​Pembangunan semesta tidaklah cukup tanpa adanya pembangunan hukum.

Bacaan 2 Menit

 

Ke depannya, untuk dapat mewujudkan penegakan hukum secara efektif, perlu diperhatikan sebagai berikut:

  1. Terkait struktur hukum: Reformasi internal lembaga penegak hukum harus dilakukan secara konsisten, profesional, dan berkelanjutan. Upaya pembenahan institusi hukum dari mafia peradilan mutlak dilaksanakan segera. Penegak hukum bersama-sama dengan hakim dan advokat harus dapat menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya, sehingga mengakibatkan kepercayaan publik meningkat.
  2. Terkait substansi hukum: Penyusunan dan pembentukan undang-undang dan perkembangan hukum kebiasaan harus serasi dengan kebutuhan masyarakat, harus objektif dan tidak mendiksriminiasi. Sistem hukum yang baik akan memaksa aparat penegak hukum untuk bekerja dengan jujur, efektif, dan efisien yang pada akhirnya akan mencerminkan penegakan hukum yang berkualitas pula. Kinerja aparat penegak hukum yang baik akan menjadi teladan bagi masyarakat.
  3. Terkait budaya hukum: kesadaran publik terhadap hukum (termasuk di dalamnya sikap anti-korupsi dan pelajaran budi pekerti) harus ditingkatkan, bahkan harus diajarkan sejak dini di dalam lingkup keluarga, termasuk bagaimana seorang warga negara memiliki hak dan kewajiban masing-masing yang harus dijalankan. Dari sisi pemerintah harus ada tindakan yang dapat menciptakan masyarakat yang taat (tunduk) terhadap hukum dan hormat kepada hukum (law abiding-society) bukan karena takut kepada penegak hukum tapi karena kesadaran diri sendiri. Contohnya dapat berupa sosialisasi atau penyuluhan-penyuluhan hukum  terkait ketertiban, disiplin, ketentraman, kepastian hukum, toleransi, menolak keserakahan, dan sebagainya, yang dapat membuat masyarakat lebih aware terhadap hukum.  Pemerintah janganlah hanya fokus terhadap pembentukan undang-undang, tapi melupakan perbaikan budaya hukum masyarakatnya. Dalam jangka panjang sistem pendidikan bisa disesuaikan atau ditambahkan pendekatan yang lebih menanamkan kedisiplinan di dalam kehidupan sehari-hari. Dimulai dari hal dasar seperti mematuhi rambu lalu lintas, membuang sampah pada tempatnya, menyeberang di zebra cross atau jembatan penyeberangan, memelihara lingkungan hidup, hingga hal yang lebih besar seperti tidak KKN[9] dan selalu menghormati HAM orang lain.

 

Pada akhirnya, jika penegakan hukum baik, maka dengan sendirinya keadilan, kepastian hukum, kesetaraan di hadapan hukum, dan pemenuhan hak asasi masing-masing individu (termasuk hak untuk hidup/right to life, hak milik/right to property, dan hak atas kemerdekaan/right to liberty) dapat dicapai. Hal ini yang harus dicapai oleh pemerintahan Jokowi sebagai implementasi dari Nawa Cita.

 

*)Prof. DR. Frans H. Winarta, S.H., M.H. adalah Advokat Senior.

 

Catatan Redaksi:

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline

[4]    Sebagai contoh, secara teori, hukum menjamin hak setiap individu untuk didampingi oleh advokat (right to counsel – Pasal 56 [1] KUHAP; Pasal 14  [3] ICCPR), namun dalam praktiknya, hak individu tersebut sering kali disabotase.

[5]    Para pendiri Republik Indonesia pun menginginkan urusan negara dan urusan agama dipisah, yang dicanangkan sebagai “separation between church and state” (scheiding van kerk en staat) oleh Bung Hatta. Kedua hal tersebut tidak boleh dicampuradukan.

[6]    Menurut World Report 2018 yang dilakukan oleh Human Rights Watch, di bulan September, Kejaksaan Agung RI mengumumkan bahwa mereka telah membatalkan pemberitahuan lowongan pekerjaan yang tidak hanya melarang pelamar lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT), tetapi juga menyatakan bahwa homoseksualitas adalah "penyakit mental.

[7]     Lawrence M. Friedman berpendapat bahwa berhasil atau tidaknya penegakan hukum bergantung kepada tiga unsur sistem hukum yaitu: struktur hukum, substansi hukum, dan budaya hukum.

[8]   Istilah due process of law mempunyai konotasi bahwa segala sesuatu harus dilakukan secara adil, dan dalam konsep due process of law, sebenarnya terdapat konsep hak-hak fundamental (fundamental rights) dan konsep kemerdekaan/kebebasaan yang tertib (ordered liberty).

[9]  W. Keeler (Shame and Stage Fright in Java, 1983) dalam penelitiannya berkata bahwa anak-anak di Jawa dan Bali (ada kecenderungan di seluruh tanah air) dididik untuk bermoral malu,

[1]   Ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat).

[2]    Moh. Yamin di awal proses pembentukan NKRI, mengharapkan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang menghargai HAM.

[3]    Setiap orang diperlakukan sama di hadapan hukum (equality before the law), itulah salah satu cita-cita dari hak asasi manusia sesuai dengan yang disebutkan di dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Tags:

Berita Terkait