Refleksi Penegakan Hukum Indonesia 2018
Kolom

Refleksi Penegakan Hukum Indonesia 2018

​​​​​​​Pembangunan semesta tidaklah cukup tanpa adanya pembangunan hukum.

Bacaan 2 Menit

 

Pembangunan Hukum di Indonesia

Memang benar kondisi penegakan hukum di Indonesia secara umum dapat diibaratkan sebagai benang kusut yang disebabkan judicial corruption yang telah membudaya dan pola berpikir aparat penegak hukum terkait hak asasi manusia yang harus dilepaskan dari kultur lama.

 

Di bidang hak asasi manusia, sayangnya, sebagian masyarakat Indonesia telah berubah dari masyarakat majemuk yang memiliki rasa sosial yang tinggi menjadi manusia Indonesia yang memiliki degradasi nilai-nilai kemanusiaan yang mencemaskan. Hal ini diperlihatkan dengan aksi intoleransi, kekerasan, anarkisme, perlawanan terhadap petugas atau sebaliknya, saling serang antar golongan, dan lain-lain.[6]

 

Hal tersebut dapat terjadi karena penegakan hukum tak berjalan sesuai dengan harapan sehingga masyarakat melakukan upaya penegakan hukum dengan cara mereka sendiri melalui bentuk-bentuk pengadilan massa yang berujung pada tindakan-tindakan pelanggaran HAM. Bahkan di lain sisi, sejarah menceritakan ada juga penegak hukum yang seharusnya melindungi hak asasi manusia warganya, malah berbuat sebaliknya.

 

Penegakan hukum yang seharusnya adalah suatu proses dilakukannya upaya penerapan norma-norma hukum secara nyata agar hukum dapat berfungsi dan ditegakkan sebagai pedoman perilaku dalam hidup bermasyarakat dan bernegara, baik oleh masing-masing warga negara maupun aparat penegak hukum yang mempunyai tugas dan wewenang berdasarkan undang-undang (Satjipto Raharjo, 2005). Hal ini sesuai dengan adagium yang dikemukakan oleh Cicero, yaitu “ubi societas ibi ius”, yang berarti “di mana ada masyarakat, di situ ada hukum”. Masyarakat tidak mungkin hidup tanpa hukum, karena norma-norma hukum itulah yang mengatur kehidupan manusia dalam bermasyarakat.

 

Penegakan hukum yang berkualitas tidak akan terwujud jika tindak pidana korupsi dan pelanggaran HAM masih marak.[7] Yang menyebabkan demikian salah satunya adalah budaya hukum di Indonesia masih jauh dari apa yang seharusnya dicita-citakan para pendiri bangsa mengenai negara hukum (rechtsstaat). Menurut Lawrence M. Friedman budaya hukum adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum, nilai, pemikiran, serta harapannya. Budaya hukum di Indonesia saat ini adalah sebagai hasil dari sistem hukum yang tidak efektif, sehingga masyarakat menganggap hukum dipatuhi karena takut oleh penegak hukum, bukan karena kesadaran diri sendiri.

 

Lebih lanjut, asas praduga tak bersalah (presumption of innosence) merupakan syarat utama dan mutlak dalam rangka menegakkan hukum. Hal ini harus diterapkan sejalan dengan persidangan yang berjalan jujur, adil dan tidak memihak yang merupakan implementasi jelas dari due process of law.[8]

 

Pada akhirnya, secara umum, penegakan hukum di Indonesia pada tahun 2018 masih belum jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Masih banyak terjadi pelanggaran hak asasi manusia serta belum ada jaminan penyelesaian beberapa persoalan hukum tertentu akibat kurang tegasnya pengamalan asas persamaan di hadapan hukum bagi masing-masing warga negara Indonesia.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait