Jika dapat disebut sebagai ‘hikmah’, maka ada juga ‘hikmah’ pandemi Covid-19 terhadap percepatan layanan peradilan di Indonesia. Setidaknya, pandemi ini mempercepat pelaksanaan layanan peradilan berbasis elektronik. Sejumlah regulasi layanan elektronik sebenarnya sudah diterbitkan jauh sebelum Covid-19 ditemukan di Indonesia, tetapi pandemik yang sudah melanda seluruh provinsi itu mempercepat implementasinya dan penerimaan para pihak yang berperkara.
Meskipun demikian, dalam kasus tertentu ada pencari keadilan yang menginginkan persidangan dilakukan sebagaimana lazimnya: para pihak hadir langsung di ruang persidangan. Pertimbangannya mungkin beragam, salah satunya gangguan teknis. Jika layanan internet terganggu, persidangan akan mengalami gangguan. Atau, dalam kasus pengecekan keabsahan alat bukti yang perlu dilihat para pihak secara langsung untuk meyakinkan keabsahannya. Masih ingat kasus keberatan MRS, terdakwa kasus pelanggaraan protokol kesehatan, terhadap sidang secara daring, kan?
Adakalanya, apa yang tertulis dalam ketentuan pokok hukum acara, baik dalam HIR/RBg maupun KUHAP, sudah tak sesuai dengan praktik di pengadilan. Sekadar contoh adalah cakupan saksi sebagaimana diatur dalam KUHAP. Keterangan saksi merupakan salah satu alat bukti penting dalam persidangan. Siapa yang dimaksud saksi? Pasal 1 angka 26 mendefinisikan saksi sebagai orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.
Tetapi putusan Mahkamah Konstitui No. 65/PUU-VIII/2010 telah memperluas makna saksi. Orang yang keterangannya ada relevansinya dengan perkara juga dapat dijadikan saksi meskipun yang bersangkutan tak mendengar sendiri, melihat sendiri, dan mengalami sendiri. Contoh lain adalah konsep praperadilan yang cakupannya semakin meluas dalam praktik peradilan.