Rasionalitas Mutu Advokat Indonesia
Kolom

Rasionalitas Mutu Advokat Indonesia

​​​​​​​Tidak mungkin air keluar dari batu karena batu tidak memproduksi air. Tidak mungkin lahir sesuatu dari ketiadaan. Maka tidak mungkin lahir karya terbaik advokat dari advokat yang tak bermutu.

Bacaan 2 Menit

 

Kita gagal mampu melihat bahwa keburukan berhukum kita berpangkal dari proses "pengadaan manusia" sejak dari fase awal, bahkan sejak saat penerimaan mahasiswa di fakultas hukum. Pada dasarnya adalah potensi. Tidak mungkin air keluar dari batu karena batu tidak memproduksi air. Tidak mungkin lahir sesuatu dari ketiadaan. Maka tidak mungkin lahir karya terbaik advokat dari advokat yang tak bermutu.

 

Dikutip dari wikipedia.org bahwa rationality is the quality or state of being rational  that is, being based on or agreeable to reason. Rationality implies the conformity of one's beliefs with one's reasons to believe, and of one's actions with one's reasons for action. Rasionalitas senantiasa hanya menonjolkan adanya alasan atas adanya sesuatu, yakni selalu ada penyebab yang masuk akal bahkan logis yang mendahului sebelum adanya sebuah kenyataan. Dengan kata lain, segala yang ada di ujung proses merupakan akumulasi dari berprosesnya potensi-potensi.

 

Paparan sederhana ini dapat menjadi pembuka wawasan kita bahwa kebutuhan real sesunguhnya menampak begitu jelas yakni meminta kualifikasi kualitas advokat yang baik, sekaligus menolak dengan tegas pembelaan diri yang berkelit lalu bersembunyi di balik tirai irrasionalitas. Kita terlalu kecil bila tak mampu mengatakan bahwa keberadaan mutu advokat yang belum merata baik ini adalah hasil dari proses yang kurang baik yang nyata-nyata terlihat. Profesi ini dan semua yang terkait dengan ini masih harus berbenah diri untuk pantas disebut profesi mulia. Hal itu harus nampak rasional sejak dari proses seleksi yang ketat dan terukur. Sebab tidak mungkin menemukan produk unggul dari bibit dan ekosistem yang buruk.

 

Situasi chaotic di atas menggugat urgensi nalar dan akal sehat harus segera ditempatkan di barisan terdepan. Bahwa antara bahan baku hingga fase proses produksi dengan peruntukannya masih nampak buram bahkan tidak masuk akal (chaos, mayhem). Menerima, bertahan, dan melanjutkan penggunaan sesuatu yang telah teridentifikasi sebagai serpihan kerusakan tidak lagi dapat dimaklumi sebagai kebodohan saja melainkan merupakan sebuah kejahatan.

 

*)Mancur F. Sinaga, Dosen Filsafat Hukum dan Etika Profesi di Fakultas Hukum Universitas Bung Karno, Jakarta.

 

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline. 

Tags:

Berita Terkait