'Putusan yang sangat Menyedihkan'
Soeharto vs Majalah Time Asia

'Putusan yang sangat Menyedihkan'

Kalangan media ramai-ramai mengecam putusan kasasi Mahkamah Agung yang memenangkan mantan Presiden Soeharto. Mereka menilai lembaga tertinggi yudikatif tersebut mencla-mencle. Ancaman kebebasan pers?

Ycb/Ali
Bacaan 2 Menit

 

Pertama, pada tahun 1990-an, MA memenangkan Harian Garuda Medan. Kondisinya terbalik. Dua putusan sebelumnya memenangkan seorang pengusaha. Pihak penggugat merasa nama baiknya dicemarkan oleh tulisan koran ini. Tapi MA memenangkan Garuda, ujarnya.

 

Kedua kasus Tempo kontra pengusaha Tommy Winata. MA memutuskan pihak penggugat kudu menggunakan hak jawab dulu. Kalau tidak puas, adukan ke Dewan Pers, tegasnya.

 

AJI juga menyayangkan langkah MA yang berbalik 180 derajat. Dalam kasus Tempo vs Tommy Winata, MA menunjukkan kelasnya sebagai lembaga peradilan yang menjaga kemerdekaan pers. Dalam kasus ini, MA telah gagal menjaga kewibawaan kehakiman dari kekuasaan yang korup dan absolut, sambung Heru.

 

Sebaliknya, Assegaf menyambut gembira putusan ini. Banyak yang berkomentar hal ini membelenggu kebebasan pers. Apakah pers bisa berbuat seenaknya? Kebebasan toh ada batasnya. Berita yang mencemarkan nama baik serta memfitnah jelas tidak adil dan tidak fair, cetusnya.

 

Kata dibalas Kata

Assegaf mengaku, kliennya, Soeharto, tidak menggunakan hak jawab atau desakan ralat atas pemberitaan Majalah Time kala itu. Karena pemberitaannya sudah sedemikian rupa, dan sepihak, saya kira tidak perlu menempuh langkah itu, sambungnya.

 

Justru itu yang disayangkan oleh Alamudi. Harusnya kata dibalas dengan kata. Berita miring dibalas dengan hak jawab dan wajib dilayani dengan ralat, ujarnya heran.

 

Alamudi menjelaskan, media juga tak luput dari hukuman denda. UU Pers mengenal denda maksimal Rp500 juta. Itu pelajaran supaya pengusaha pers tidak merekrut wartawannya dengan asal-asalan. Tapi, denda jangan membuat bangkrut media. Sama saja dengan bredel lewat jalur hukum, jelasnya.

Tags: