Putusan Pengujian UU KPK, Matinya Keadilan Prosedural
Terbaru

Putusan Pengujian UU KPK, Matinya Keadilan Prosedural

Dirancang sejak tahunan lalu dengan rangkaian peristiwa. Puncak eksekusi rencana pelemahan sejak 2019 hingga 2021. Presiden dianggap menjadi salah satu sutradara pembuat skenario pelemahan KPK, puncaknya ditolaknya pengujian uji formil UU KPK ini.

Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit

“Hakim ini bertemu dengan DPR. Orang yang bertemu dengan DPR malah diberikan bintang. Saya tidak tahu apakah sesuai wawasan kebangsaan atau tidak, tentu tidak,” katanya.

Asfin berpendapat situasi pelemahan terhadap pemberantasan korupsi telah dimulai sejak bertahun-tahun lalu. Boleh jadi tidak direncakan serumit ini, namun menemukan skenario berjalan dengan eskalasi yang ada. Namun tindakan tersebut dianggap sebagia obstruction of justice yakni skenario serangan balik koruptor agar Indonesia kembali pada era orde baru yang penuh dengan korupsi.

“Sejarah akan mencatat siapa saja yang duduk menjadi presiden, Menkopolhukam, Ketua MK, siapa Ketua DPR dan anggota DPR, apakah partai memiliki afiliasi. Rakyat akan mencatat itu, dan semoga pada pemilu yang akan datang suara akan memberikan kepada keadilan antikorupsi,” ujarnya.

Matinya keadilan prosedural

Guru Besar Hukum Tata Negara (HTN) Fakultas Hukum (FH) Universitas Padjajaran, Prof Susi Dwi Harijanti mengaku shock mendegar putusan MK atas uji formil terhadap UU 19/2019. Menurutnya putusan MK tersebut menunjukan matinya keadilan prosedural. Dia menilai pendeknya proses revisi UU 30/2020 di DPR yang dibahas bersama pemerintah pertengahan 2019 lalu, hingga menjadi UU. “Saya selalu mengatakan pentingnya prosedur sebagai ‘jantungnya’ hukum,” ujarnya.

Menurutnya, keadilan prosedural terdapat beberapa elemen. Tak cukup pembentuk UU mengundang akademisi dan masyarakat seminar terkait penyerapasan aspirasi dalam pembuatan sebuah RUU. Sebab, aspirasi publik dan akademisi pun semestinya dipertimbangkan masuk dalam materi muatan sebuah RUU.  

“Dengan begitiu dapat saya pastikan hakim-hakim MK mempunyai pandangan berpaku pada peraturan yang tertulis. Padahal kita tahu prosedur due process of law tidak semata pada peraturan tertulis. Apalagi Wahiduddin Adam menghitung kurang dari 24 jam presiden sudah memberi jawaban DIM. Menurut Wahidudin itu tidak wajar,” katanya.

Lebih lanjut, Prof Susi berpendapat DPR tak mampu memberikan argumentasi soal telah memenuhi hak untuk didengar dan dipertimbangkan dari mereka yang terkena dampak aturan yakni KPK. Faktanya, KPK tak mendapat ruang untuk didengar dalam pembahasan RUU KPK kala itu. DPR dan presiden hanya memperlihatkan aspek legitimasi tanpa mempertimbangkan aspek lainnya.

Tags:

Berita Terkait