Putusan Pengujian UU KPK, Matinya Keadilan Prosedural
Terbaru

Putusan Pengujian UU KPK, Matinya Keadilan Prosedural

Dirancang sejak tahunan lalu dengan rangkaian peristiwa. Puncak eksekusi rencana pelemahan sejak 2019 hingga 2021. Presiden dianggap menjadi salah satu sutradara pembuat skenario pelemahan KPK, puncaknya ditolaknya pengujian uji formil UU KPK ini.

Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit

Bagi Kurnia, citra presiden telah runtuh dengan temuan Transparency Internasional Indonesia (TII) yang menyebutkan indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia merosot dari peringkat 85 menjadi 102. Karenanya, narasi UU 19/2019 tentang KPK memperkuat kelembagaan KPK menjadi terbantahkan. “Makanya presiden saya anggap salah satu sutradara menggeser KPK dari gelanggang pemberantasan korupsi,” kata dia.

Kedua, DPR. Menurutnya, DPR memiliki catatan yang menginginkan KPK tak bertumbuh kembang menjadi kuat. Mulai wacana membekukan KPK, hingga pembentukan detasemen khusus (Densus) korupsi di Polri. Sejumlah wacana tersebut menjadi isu pelemahan KPK di DPR. Soal kepentingan politik, mayoritas anggota dewan memiiliki afiliasi dengan usaha pertambangan. Boleh jadi kehadiran KPK malah mengganggu usaha tersebut. Nah praktik korupsi politik cukup banyak ditangani KPK. Sejumlah kader partai politik dan ketua umum partai pernah menjadi pesakitan di KPK.

Ketiga, internal KPK. Dia melihat terdapat banyak kebijakan pimpinan KPK yang janggal. Malahan merusak kelembagaan KPK. Seperti merombak struktur jabatan di tubuh KPK. Seperti kedeputian diubah dengan peraturan internal KPK. Kemudian tes wawasan kebangsaan (TWK). Menurutnya TWK bertentangan dengan regulasi yang ada. Sebab, dalam UU 19/2019 tak mengatur adanya TWK dalam proses peralihan pegawai KPK menjadi ASN. Begitupula dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai KPK menjadi ASN.

“Bahkan dalam putusan MK ada sedikit menyampaikan soal peralihan pegawai menjadi ASN. Ada dikatakan alih status tidak boleh merugikan pegawai-pegawai KPK yang telah mengabdi puluhan tahun di KPK,” katanya.

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menambahkan, jejak pelemahan KPK telah dimulai sejak kasus cicak buaya I, II, III dan IV. Menurutnya, beragam cara digunakan para koruptor menyerang balik KPK. Revisi UU KPK menjadi puncaknya setelah dalam beberapa tahun terakhir. Uji formil UU 19/2019 yang kandas di tangan 8 hakim MK lantaran 1 hakim dissenting oppinion menunjukan kegagalan MK memposisikan dirinya sebagai lembaga yang netral dan melihat persoalan secara objektif.

“Menunjukan demokrasi Indonesia sudah runtuh. Jadi sebetulnya kita saksikan upaya penuntasan skenario oleh serangan balik koruptor yaitu KPK dikuasai dari dalam dan dikuasai dari luar,” kata dia.

Dia menjelaskan penguasaan KPK dari luar melalui revisi UU KPK di DPR bersama presiden. Malahan sudah digolkan melalui putusan MK yang menolak uji formil. Publik ingat betul saat Presiden Joko Widodo menyambangi MK dan memberikan bintang mahaputra pada sembilan hakim MK. Celakanya, satu hakim diantara pernah menjalani sidang etik terkait dengan penanganan perkara.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait