Putusan MK Soal UU Pilkada Perjelas Legalitas Bawaslu Daerah
Berita

Putusan MK Soal UU Pilkada Perjelas Legalitas Bawaslu Daerah

Meskipun pilkada dan pemilu itu dilaksanakan dengan rezim dan undang-undang yang berbeda, tetapi status dan sifat penyelenggara pemilihannya tetap seperti yang diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2019 tentang Pemilu.

Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit

 

Meskipun pilkada dan pemilu itu dilaksanakan dengan rezim dan undang-undang yang berbeda tetapi status dan sifat penyelenggara pemilihannya tetap seperti  yang diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2019 tentang Pemilu. Untuk itu bentuk lembaga Bawaslu Kabupaten/Kota bersifat permanen dan jumlah anggota harus disesuaikan.

 

(Baca: Evaluasi Terhadap Lembaga Penyelenggara, Revisi UU Pemilu Mesti Disegerakan)

 

Fritz juga mengingatkan pembentukan Panwas Kabupaten/Kota yang dahulu dibentuk Bawaslu Provinsi tidak lagi berlaku sehingga harus mengikuti ketentuan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

 

“Ketika Panwas Kabupaten/Kota telah dimaknai menjadi Bawaslu Kabupaten/Kota, maka semua pengaturan yang menentukan batas waktu pembentukan Bawaslu Kabupaten/Kota dalam Pasal 24 UU Nomor 10 Tahun 2016 sebagai bagian dari tahapan persiapan pilkada dan Panwas Kabupaten/Kota dibentuk dan ditetapkan oleh Bawaslu Provinsi harus pula dinyatakan inkonstitusional sebagaimana telah menjadi pendapat Mahkamah (MK),” urai Fritz

 

Sebelumnya, dalam sidang pembacaa putusan, Hakim MK Saldi Isra menyebutkan ketika Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu disahkan maka UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Sehingga, saat dasar hukum kelembagaan penyelenggara pemilu berganti maka segala peraturan perundang-undangan yang merujuk pada pengaturan lembaga pengawas penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (sebagaimana diatur dalam UU Pilkada) seharusnya menyesuaikan pula dengan pergantian yang terjadi dalam norma tersebut.

 

Saldi menguraikan bahwa ketika UU Pilkada yang mengatur lembaga pengawas pemilihan adalah pengawas pemilu sebagaimana diatur UU Pemilu tidak disesuaikan dengan perubahan nomenklatur pengawas pemilu tingkat kabupaten/kota, hal ini akan berakibat terjadinya ketidakseragaman pengaturan dalam penyelenggaraan fungsi pengawasan terutama dalam pemilihan kepala daerah.

 

Oleh karena itu, ketidakseragaman tersebut dapat berdampak pula pada  munculnya dua institusi pengawas penyelenggaraan pemilihan di tingkat kabupaten/kota dalam pemilihan anggota DPR, anggota DPD, Presiden dan Wakil Presiden, dan anggota DPRD dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (Pilkada).

 

“Padahal, kelembagaan Bawaslu sebagaimana diatur dalam UU 7/2017 adalah lembaga yang diberi status atau sifat tetap (permanen) hingga di tingkat kabupaten/kota. Sementara UU Pilkada justru mengatur pembentukan, nomenklatur, dan sifat yang berbeda terhadap lembaga pengawas dalam pemilihan kepala daerah,” urai Saldi saat membacakan pertimbangan hukum Putusan Nomor 48/PUU-XVII/2019.

Tags:

Berita Terkait