Perjalanan Pengaturan Definisi ‘Kuasa Wajib Pajak’ (Penjelasan Darussalam)
No. | Aturan | Muatan aturan |
1. | KMK 576/2000 | Dibuka 2 jalur persyaratan (pasal 1-2);
|
2. | PMK 97/2005 | Jalur persyaratan lewat pendidikan formal dihilangkan,sehingga yang diakui hanya kuasa yang memiliki izin praktek sebagai konsultan pajak (Pasal 1) |
3. | PP 80/2007 | Memunculkan kembali jalur non-konsultan pajak (bersertifikat Brevet atau Ijazah formal minimal D3 di PTN/PTS terakreditasi A bidang perpajakan. |
4. | PMK22/2008 | Membatasi jalur non-konsultan pajak dengan ketentuan;
|
5. | PP 74/2011 | Memunculkan kembali jalur non-konsultan pajak dengan sertifikat Brevet atau Ijazah formal minimal D3 di PTN/PTS terakreditasi A bidang perpajakan. |
6. | PMK 229/2014 | Menghilangkan kembali jalur non-konsultan Pajak |
7. | Rencana Relaksasi PMK oleh DJP |
Terlepas dari perjalanan berubah-ubahnya pengaturan soal Kuasa Wajib Pajak dalam berbagai aturan tersebut, Darussalam menyimpulkan sebuah konsep ideal kuasa wajib pajak sejauh pengamatannya, yakni:
|
Akademisi Perpajakan Fakultas Ilmu Administrasi UI, Wisamodro Jati, mengakui memang banyak disiplin ilmu yang bersinggungan dengan perpajakan, termasuk di dalamnya soal Ilmu Ekonomi, Hukum, Administrasi Perpajakan baik dari segi penerimaan negara atau otoritas perpajakan maupun dari sisi wajib pajak (bagaimana menjalankan hak dan kewajiban dalam lingkup mikro), Ilmu Akuntansi hingga bahkan disiplin ilmu politik untuk menyuarakan kebijakan yang dibutuhkan sektor perpajakan.
“Semua bidang keilmuan ini harus terlibat dalam mempertimbangkan apakah kriteria-kriteria seorang kuasa wajib pajak dapat dikatakan betul-betul kompeten dalam menjalankan fungsinya,” Jelas Jati.
Akan tetapi, sambung Jati, khusus dalam hal ‘Kuasa Wajib Pajak’, itu sifat fungsinya lebih teknis, sehingga yang dimungkinkan terlibat dalam hal ini adalah disiplin ilmu Hukum, Akuntansi dan administrasi perpajakan. Untuk bisa dikatakan sebagai Kuasa yang kompeten, Jati menganggap 3 disiplin keilmuan itu tetap harus mengikuti proses pendidikan perpajakan dan tidak bisa diraih hanya dengan ujian sertifikasi.
“Untuk bisa kompeten sebagai Kuasa Wajib Pajak, kita harus mengikuti proses pendidikan yang tidak bisa diraih saat ujian sertifikasi saja. Kalaupun mau disertifkasi, tetap harus melewati pendidikan perpajakan dan mendapatkan kredit sesuai dengan yang sudah mereka pelajari di Universitas,” tukas Jati.
Misalnya, tambah Jati, untuk lulusan akuntansi maka keilmuan perpajakannya mesti diperkuat dengan mengambil kredit pendidikan berkelanjutan untuk pajak. untuk lulusan hukum, mereka juga harus mengambil kredit keilmuan akuntansi, karena bicara pajak tanpa akuntansi juga akan kesulitan. Kemudian untuk lulusan administrasi perpajakan yang sudah kuat baik di bidang akuntansi maupun perpajakan, maka perlu dikuatkan dari segi kelimuan dalam menafsirkan aturan hukum.