Putusan MK dan Ragam Tafsir tentang Upah Proses PHK
Kolom

Putusan MK dan Ragam Tafsir tentang Upah Proses PHK

UU PHI perlu mengadopsi tahapan waktu beracara sebagaimana diatur dalam UU No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Bacaan 2 Menit

Dengan demikian, hakim dapat menghukum pengusaha membayar upah proses sampai putusan kasasi diucapkan. Konsekuensinya, pekerja/buruh tidak berhak lagi menerima upah proses setelah putusan PHI berkekuatan hukum tetap. Uraian di atas sekaligus menegaskan bahwa pendapat yang menyatakan batas waktu membayar upah proses dan upah skorsing sampai pada putusan PHI tingkat pertama adalah pendapat yang bertentangan dengan pengertian dari ‘berkekuatan hukum tetap’ itu sendiri. Sebab, bila salah satu pihak atau para pihak mengajukan kasasi terhadap putusan PHI tingkat pertama maka berkekuatan hukum tetap itu melekat pada putusan kasasi.

Solusi

Buruh menginginkan penyelesaian kasus PHK dalam waktu cepat. Keinginan yang sama muncul dari sebagian pengusaha. Buruh ingin segera menikmati kompensasi PHK. Salah satu motivasi pengusaha menginginkan proses peradilan yang cepat berkaitan dengan pembatasan waktu untuk membayar upah proses PHK. Secara juridis, semakin lama proses PHK semakin panjang waktu pengusaha membayar upah proses.

Namun demikian, tabiat pengusaha tidak semua sama. Dalam praktik, ditemukan pengusaha yang tidak menginginkan penyelesaian perselisihan secara cepat. Pengusaha tipe ini bisa dilihat dari dua tindakan berikut ini. Pertama, melakukan dan membiarkan tindakan PHK tanpa proses hukum. Kedua, mengajukan upaya hukum terhadap putusan PHI yang menyatakan gugatan pekerja/buruh tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard/NO). Sebagai pengadilan khusus, PHI perlu membangun sistem yang bisa mencegah dua perilaku tersebut.

Dari sudut kepatuhan hukum, tidak ada alasan untuk membangkang atas putusan MK No 37/PUU-IX/2011. Keluhan pengusaha terhadap putusan MK bisa dimaklumi bila menggunakan pendekatan matematis. Putusan MK itu memastikan tambahan beban keuangan bagi perusahaan terutama bila melakukan PHK yang menyimpang dengan hukum. Bila dalam praktik peradilan terdapat sikap yang berbeda dari para hakim dalam memutus upah proses, kini perbedaan itu telah berakhir. Bila semua pihak menghormati putusan MK, putusan itu akan menjadi landasan hakim untuk seragam menghukum pengusaha membayar upah proses PHK sampai putusan berkekuatan hukum tetap. Bahan ajar lain dari putusan MK itu adalah mengingatkan  hakim untuk tidak memutus upah proses PHK paling lama enam bulan dengan merujuk pada Kepmenaker No 150 Tahun 2000.

Secara kasuistis, hakim dalam memutus upah proses bisa menggunakan pendekatan rasa keadilan. Kebolehan itu terutama bila gugatan perselisihan PHK itu diajukan oleh pengusaha disertai dengan alasan PHK yang sesuai dengan hukum. Sebaliknya, bila PHK dilakukan menyimpang dari hukum dan pengusaha tidak memperlihatkan keinginan untuk menyelesaikan perselisihan PHK sesuai hukum positif maka, sesuai putusan MK No 37/PUU-IX/2011 batas pembayaran upah proses seutuhnya merujuk pada Pasal 155 ayat (2) UU No 13 Tahun 2003.

Bertitiktolak pada UU No 2 Tahun 2004, proses administrasi penyelesaian perselisihan hubungan industrial berada lebih lama di tingkat kasasi. Hal itu terjadi karena UU No 2 Tahun 2004 tidak mengatur batas waktu kapan MA harus mengirim salinan putusan kasasi ke PHI tingkat pertama, serta kapan PHI tingkat pertama harus memberitahu atau mengirimkan salinan putusan kasasi kepada pencari keadilan. Ketiadaan detail batas waktu mengatur pengiriman putusan sampai ke para pihak sebagaimana berlaku pada perkara kepailitan pada Pengadilan Niaga mengakibatkan pengiriman putusan MA ke PHI menjadi lama. Kenyataan itu mengakibatkan proses penyelesaian perselisihan berlarut-larut sehingga berkontribusi pada pembayaran upah proses PHK.

Putusan MK merupakan referensi hukum dan kegelisahan pengusaha atas putusan MK sebagai alasan sosiologis yang relevan memotivasi pemerintah dan DPR merevisi atau mengganti UU No 2 tahun 2004. Di dalam perubahan mendatang perlu mengatur batas waktu bagi MA memutus dan mengirim salinan putusan ke PHI tingkat pertama. Pengaturan batas waktu untuk setiap tahapan pemeriksaan sampai pengiriman putusan merupakan kebutuhan mendesak sehingga di dalam hukum acara terdapat aturan baku tentang jangka waktu penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Tags: