Putusan MK dan Ragam Tafsir tentang Upah Proses PHK
Kolom

Putusan MK dan Ragam Tafsir tentang Upah Proses PHK

UU PHI perlu mengadopsi tahapan waktu beracara sebagaimana diatur dalam UU No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Bacaan 2 Menit

Dalam kaitan upah proses, praktik peradilan memperlihatkan tiga macam putusan PHI. Pertama, putusan hakim menghukum pengusaha membayar upah proses selama enam bulan. Kedua, putusan hakim menghukum pengusaha membayar upah proses lebih dari enam bulan. Ketiga, putusan hakim menghukum pengusaha membayar upah proses sampai perkara berkekuatan hukum tetap.

Putusan menghukum enam bulan upah proses berkiblat pada Kepmenaker No 150 Tahun 2000. Putusan hakim menghukum lebih dari enam bulan tetapi tidak sampai berkekuatan hukum tetap merupakan putusan yang berkiblat pada rasa keadilan hakim. Dan, yang memutus upah proses sampai berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), murni berkiblat pada Pasal 155 ayat (2) UU No 13 Tahun 2003. Tiga macam putusan di atas sekaligus sebagai petunjuk bahwa di dalam PHI terdapat tiga aliran hakim mengenai upah proses.  

Buruh dan serikat buruh sering mengajukan protes atas putusan menyangkut upah proses PHK. Protes itu berkaitan dengan putusan hakim yang tidak menghukum pengusaha membayar upah proses sampai perkara berkekuatan hukum tetap. Kenyataan berkaitan dengan protes itu tampak jelas bila menelisik pada putusan kasasi yang memiliki dua kecenderungan. Pertama, kecenderungan memutus upah proses sesuai putusan PHI tingkat pertama. Kedua, kecenderungan mengubah putusan PHI dengan cara mengurangi upah proses yang ditetapkan PHI tingkat pertama menjadi enam bulan.  

Dalam praktik, waktu yang dibutuhkan menyelesaikan perselisihan PHK tidak sama. PHI tingkat pertama relatif mampu menyelesaikan pemeriksaan perkara dalam waktu 50 hari kerja sebagaimana diatur dalam Pasal 103 UU No 2 Tahun 2004. Pencari keadilan mulai mengeluhkan masalah waktu khususnya di tingkat kasasi. Penyebab utama adalah UU No 2 Tahun 2004 tidak secara baku mengatur tahapan waktu berkaitan dengan proses kasasi dan pengiriman putusan kasasi sampai ke PHI tingkat pertama.  

Pengusaha tidak semua menyelesaikan kasus PHK menurut hukum. Pengusaha ada yang melakukan PHK tetapi tidak menyelesaikan PHK pada lembaga yang berwenang sesuai Pasal 151 ayat (3) UU No 13 Tahun 2003. Di seluruh PHI, buruh lebih banyak mengambil inisiatif mengajukan gugatan PHK. Waktu mengajukan gugatan oleh buruh dilakukan dalam waktu beragam. Dalam praktik, buruh yang mengalami PHK tidak serta merta mengajukan gugatan. Gugatan diajukan beberapa bulan setelah PHK terjadi. Karena itu, bila pengusaha mendiamkan kasus PHK sama artinya pengusaha berinvestasi dengan masalah. Jika gugatan PHK diajukan pada bulan ke sepuluh dan PHI memutus pada bulan ke tiga belas maka, bila PHI memutus upah proses selama 13 bulan, keadaan itu timbul karena kelalaian pengusaha.

Substansi Putusan Mahkamah Konstitusi

Ugah Gandar, Eko Wahyu selaku Presiden dan Sekretaris Jenderal Serikat Pekerja Pertamina Bersatu, dan Rommel Antonius Ginting selaku mantan pekerja PT Total Indonesia mengajukan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Tiga karyawan itu menguji Pasal 155 ayat (2) UU No 13 Tahun 2003. Permohonan itu teregistrasi dengan No 37/PUU-IX/2011 sebagaimana diputus tanggal 19 September 2011. Di dalam permohonan judicial review para pemohon meminta MK memberi tafsir terhadap Pasal 155 ayat (2) UU No 13 Tahun 2003 khusus mengenai frasa “belum ditetapkan” agar dinyatakan sebagai berkekuatan hukum tetap.  

Membaca putusan MK, permohonan judicial review mana didasarkan pada realitas praktik peradilan. Pemohon memiliki pendirian bahwa hukum positif tidak mengatur batas waktu pembayaran upah proses PHK. Pemohon menguraikan, PHI memutus upah proses PHK tidak sesuai hukum positif incasu Pasal 155 ayat (2) UU No 13 Tahun 2003. Tegasnya, pemohon keberatan dengan kenyataan PHI memutus upah proses PHK tidak sampai pada putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).  

Tags: