Putusan MK Belum Dijalankan, Ketentuan Sumpah Advokat Kembali Diuji
Utama

Putusan MK Belum Dijalankan, Ketentuan Sumpah Advokat Kembali Diuji

Hakim konstitusi berpendapat masalahnya ada di internal organisasi advokat.

RED
Bacaan 2 Menit

Lebih lanjut, Johni menyatakan bahwa organisasinya sebenarnya bisa menyelesaikan permasalahan yang ada. Namun yang menjadi kendala adalah adanya perlakuan yang berbeda oleh Mahkamah Agung  terhadap organisasinya.

“Andai saja Mahkamah Agung tidak merangkul dan menginjak daripada salah satu organisasi ini, kami berkeyakinan bisa secara mandiri menyelesaikan persoalan kami, tapi yang menjadi problem, yang satunya dipeluk, yang satunya dibuang,” ujarnya. 

Untuk itu dalam petitumnya, para pemohon meminta agar Pasal 4 ayat (1) dan ayat (3) UU Advokat, sepanjang frasa “Pengadilan Tinggi” dan frasa “oleh Panitera Pengadilan Tinggi yang bersangkutan” bertentangan terhadap UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat.

Selain itu, Pemohon juga meminta agar Pasal 4 ayat (1) dan ayat (3) UU Advokat, sepanjang frasa “Pengadilan Tinggi” dan frasa “oleh Panitera Pengadilan Tinggi yang bersangkutan” tidak dimaknai sebagai hak mutlak (absolutely right) Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya, dan penyumpahan Advokat adalah kewajiban dari organisasi advokat masing-masing dengan segala akibat hukumnya.

Setelah mendengarkan permohonan, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams memberikan nasihat terhadap permohonan para pemohon. Menurut Wahiduddin permohonan tersebut lebih persoalan implementasi norma, bukan pertentangan norma. Permasalahan implementasi ini, lanjut dia, terkait dengan belum dilaksanakannya Putusan MK, karena terdapat masalah-masalah internal yang pada akhirnya menghambat pelaksanaan Putusan MK yang lalu.

“Jadi, sebetulnya ini nampaknya adalah bersumber pada konflik di organisasi yang ada ini, sehingga ini coba diajukan lagi, begitu ya,” kata Wahiduddin.

Sedangkan Hakim Konstitusi Aswanto memberikan masukan kepada Pemohon agar lebih memfokuskan permohonan. Hal ini dikarenakan permohonan terlalu panjang, sehingga kerugian konstitusional susah untuk dipahami. Selain itu, Aswanto juga menyoroti petitum permohonan yang di dalamnya terdapat inkonsistensi. Di satu sisi pemohon meminta agar beberapa frasa dalam pasal yang diuji dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, namun di sisi lain terdapat permintaan agar pasal tersebut dimaknai lain.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait