Putusan Kasasi Baiq Nuril Abaikan Perma tentang Pedoman Mengadili Kasus Perempuan?
Berita

Putusan Kasasi Baiq Nuril Abaikan Perma tentang Pedoman Mengadili Kasus Perempuan?

Pada tingkat kasasi seharusnya majelis fokus pada penerapan hukum, bukan pemeriksaan fakta.

Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit

Kasus kriminalisasi korban kekerasan seksual bukan pertama kali terjadi di Indonesia. Data LBH APIK Jakarta, pada tahun 2017, menagani 39 kasus kekerasan seksual terhadap anak, dimana 3 diantaranya mengalami kehamilan yang tidak diketahui serta tidak dikehendaki dan menimbulkan masalah hukum berikutnya. Salah satu kasus serupa, yaitu seorang anak BL (16 tahun) korban perkosaan yang dituntut 8 tahun penjara karena dituduh melakukan aborsi atau tindak pidana pembunuhan terhadap bayi.

Dalam kasus BL ini, ia sudah memeriksakan diri ke dokter namun dokter hanya mendiagnosa ia mengalami sakit perut karena maag. Beruntung dalam kasus BL ini, Majelis Hakim menggunakan perspektif yang berbeda sehingga telah memutuskan BL menjalani rehabilitasi 1 tahun 6 bulan, dengan pertimbangan kondisi anak sebagai korban perkosaan dan tidak memahami terkait kehamilannya. Apakah kedepannya kasus-kasus kn'minalisasi terhadap korban kekerasan seksual akan dibiarkan terus berulang? 

Jika dibiarkan dan tidak terjadi perubahan cara pandang (perspektif perempuan korban) dapat dipastikan kedepan situasi anak-anak perempuan dan perempuan korban kekerasan sesual akan semakin buruk. 

Lebih jauh Direktur LBH Pers, Ade Wahyudin menyoroti keberadaan Pasal 27 ayat (1) UU ITE yang digunakan untuk menjerat Nuril. Menurutnya pasal ini kerap kali menjadi batu sandungan terhadap korban kekerasan seksual seperti Nuril ini. Proses pembuktian tindakan kekerasan seksual secara lisan tidak mudah karena tidak bisa melalui tindakan visum RT repertum. Satu-satunya jalan yaitu melalui bukti elektronik seperti rekaman Nuril tersebut. Hanya saja, dengan adanya pasal 27 ayat (1) UU ITE ini, sering menjadi bumerang untuk korban.

Untuk itu koalisi mengajak semua elemen intitusi khususnya pemerintah dan aparat penegak hukum bergerak untuk perubahan demi memberikan akses keadilan bagi perempuan. Koalisi Perempuan untuk keadilan Ibu Nuril menyatakan sangat prihatin atas ketidakadilan yang dialami dan menuntut beberapa hal sebagai berikut, pertama, pemerintah dan lembaga-lembaga negara terkait agar segera memenuhi hak Ibu Nuril untuk mendapatkan rehabilitasi psikologi, sosial dan ekonomi serta proses hukum yang berpihak kepada korban kekerasan seksual. 

Kedua, Aparat Penegak Hukum agar memiliki perspektif hak perempuan korban kekerasan seksual. Ketiga Mahkamah Agung agar mengimplementasikan Perma No. 3 Tahun 2017 tentang Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Keempat, Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung agar melakukan pembinaan dan peningkatan kapasitas kepada Hakim yang melakukan Pemeriksaan pada Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum, untuk melaksanakan persidangan dan pemeriksaan sesuai mandat Perma.

Kelima, aparat penegak hukum supaya memasukkan kondisi korban kekerasan seksual sebagai salah satu alasan yang meringankan dalam hal korban menjadi tersangka tindak pidana yang berkaitan langsung dengan kekerasan seksual yang dialaminya. Dan terakhir, Pemerintah dan DPR segera melakukan pembahasan dan mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan seksual agar tidak semakin banyak korban perkosaan mendapatkan keadilan dan tidak kembali mengalami korban berulang.

Tags:

Berita Terkait