Putusan Kasasi Baiq Nuril Abaikan Perma tentang Pedoman Mengadili Kasus Perempuan?
Berita

Putusan Kasasi Baiq Nuril Abaikan Perma tentang Pedoman Mengadili Kasus Perempuan?

Pada tingkat kasasi seharusnya majelis fokus pada penerapan hukum, bukan pemeriksaan fakta.

Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Hukumonline
Hukumonline

Putusan kasasi yang menghukum Baiq Nuril, seorang pegawai honorer di Mataram, terus menuai polemik. Berbeda dari tingkat pertama, putusan kasasi jsutru menyatakan Nuril bersalah melanggar Pasal 27 ayat (1) UU Informasi dan Elektronik. Akibat pelanggaran itu, ia tak hanya diganjar enam bulan penjara, tetapi juga denda 500 juta rupiah. Jaksa sudah menyatakan menunda eksekusi Nuril karena ada petunjuk dari atasan, dan faktanya kasus ini menaruh perhatian publik, bahkan sudah direspons Presiden.

Hukuman itu dijatuhkan majelis kasasi karena Nuril dinilai terbukti melakukan penyebaran percakapan Kepala Sekolah SMU 7 Mataram berinisial M. Sebelumnya, Nuril diputus bebas dan tidak terbukti bersalah oleh majelis hakim yang memeriksa perkara di tingkat Pengadilan Negeri Mataram pada tanggal 26 Juli 2017 dengan berdasarkan putusan PN Mataram No. 265/Pid.sus/2017. Namun, putusan PN ini tidak dijadikan pertimbangan MA dalam membuat putusan. 

Ketua Harian Masyarakat Permantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FH UI), Dio Ashar mengatakan seharusnya Mahkamah Agung sebagai puncak tertinggi kekuasaan kehakiman mampu menjalankan fungsinya dalam menjaga kesatuan hukum. Harusnya keberadaan MA dalam menangani perkara kasasi hanya memeriksa penerapan hukum (judex juris) dari pengadilan di bawahnya. Dengan begitu tidak akan terjadi putusan MA lebih berat dari putusan pengadilan di bawahnya. “MA tidak lagi melakukan pemeriksaan terhadap fakta (judex facti), tapi hanya penerapan hukum,” ujar Dio dalam diskusi media, Sabtu (24/11), di Jakarta.

Selain itu, MA harusnya menggunakan peraturan yang dibuatnya sendiri. Sebenarnya telah ada Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Pasal 3 Perma ini menyebutkan bahwa peraturan Mahkamah Agung tersebut bertujuan agar hakim yang memeriksa perkara perempuan berhadapan dengan Hukum, memahami dan menerapkan asas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 (penghargaan atas harkat dan martabat manusia;  non diskriminasi; Kesetaraan Gender; persamaan di depan hukum; keadilan; kemanfaatan; dan kepastian hukum).

Pasal yang sama mengharuskan hakim dapat mengidentiflkasi situasi perlakuan yang tidak setara sehingga mengakibatkan diskriminasi tprhadap Perempuan, dan huruf (c) mengatur agar hakim dapat menjamin hak perempuan terhadap akses yang setara dalam memperoleh keadilan. Sayangnya, peraturan yang terlah ada ini tidak menjadi pertimbangan atau dasar hukum dalam memproses kasus Baiq Nuril, yaitu seorang perempuan yang berhadapan dengan hukum karena pemanfaatan relasi kuasa yang dimiliki pelaku.

Ini menjadi preseden buruk wajah peradilan dalam penanganan perempuan berhadapan dengan hukum. Contoh perkara Nuril ini akan berdampak pada demotivasi korban untuk melaporkan kasus kekerasan seksual yang dialaminya karena khawatir akan mengalami nasib sefupa Nuril. Patut diingat, Kejadian yang menimpa Nuril rentan dialami oleh perempuan korban yang lain. Relasi kuasa korban dengan pelaku, sulitnya pembuktian dan saksi, selama ini menjadi kendala dalam penangan kasus kekerasan seksual. “Korban kekerasan seksual akan semakin bungkam karena tidak mendapatkan perlakukan adil dari aparat penegak hukum,” ujar Direktur LBH Apik, Siti Mazuma di tempat yang sama. 

Aparat penegak hukum yang menangani perkara Baiq Nuril ini tidak melihat aspek korban. Koalisi Perempuan untuk Keadilan Ibu Nuril memandang putusan terhadap Nuril tidak adil, diskriminatif dan bias gender. Menurut mereka kasus ini bermuatan relasi kuasa karena pelaku adalah laki-laki, kepala sekolah sementara korban adalah perempuan dan guru honorer.

Kasus kriminalisasi korban kekerasan seksual bukan pertama kali terjadi di Indonesia. Data LBH APIK Jakarta, pada tahun 2017, menagani 39 kasus kekerasan seksual terhadap anak, dimana 3 diantaranya mengalami kehamilan yang tidak diketahui serta tidak dikehendaki dan menimbulkan masalah hukum berikutnya. Salah satu kasus serupa, yaitu seorang anak BL (16 tahun) korban perkosaan yang dituntut 8 tahun penjara karena dituduh melakukan aborsi atau tindak pidana pembunuhan terhadap bayi.

Dalam kasus BL ini, ia sudah memeriksakan diri ke dokter namun dokter hanya mendiagnosa ia mengalami sakit perut karena maag. Beruntung dalam kasus BL ini, Majelis Hakim menggunakan perspektif yang berbeda sehingga telah memutuskan BL menjalani rehabilitasi 1 tahun 6 bulan, dengan pertimbangan kondisi anak sebagai korban perkosaan dan tidak memahami terkait kehamilannya. Apakah kedepannya kasus-kasus kn'minalisasi terhadap korban kekerasan seksual akan dibiarkan terus berulang? 

Jika dibiarkan dan tidak terjadi perubahan cara pandang (perspektif perempuan korban) dapat dipastikan kedepan situasi anak-anak perempuan dan perempuan korban kekerasan sesual akan semakin buruk. 

Lebih jauh Direktur LBH Pers, Ade Wahyudin menyoroti keberadaan Pasal 27 ayat (1) UU ITE yang digunakan untuk menjerat Nuril. Menurutnya pasal ini kerap kali menjadi batu sandungan terhadap korban kekerasan seksual seperti Nuril ini. Proses pembuktian tindakan kekerasan seksual secara lisan tidak mudah karena tidak bisa melalui tindakan visum RT repertum. Satu-satunya jalan yaitu melalui bukti elektronik seperti rekaman Nuril tersebut. Hanya saja, dengan adanya pasal 27 ayat (1) UU ITE ini, sering menjadi bumerang untuk korban.

Untuk itu koalisi mengajak semua elemen intitusi khususnya pemerintah dan aparat penegak hukum bergerak untuk perubahan demi memberikan akses keadilan bagi perempuan. Koalisi Perempuan untuk keadilan Ibu Nuril menyatakan sangat prihatin atas ketidakadilan yang dialami dan menuntut beberapa hal sebagai berikut, pertama, pemerintah dan lembaga-lembaga negara terkait agar segera memenuhi hak Ibu Nuril untuk mendapatkan rehabilitasi psikologi, sosial dan ekonomi serta proses hukum yang berpihak kepada korban kekerasan seksual. 

Kedua, Aparat Penegak Hukum agar memiliki perspektif hak perempuan korban kekerasan seksual. Ketiga Mahkamah Agung agar mengimplementasikan Perma No. 3 Tahun 2017 tentang Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Keempat, Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung agar melakukan pembinaan dan peningkatan kapasitas kepada Hakim yang melakukan Pemeriksaan pada Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum, untuk melaksanakan persidangan dan pemeriksaan sesuai mandat Perma.

Kelima, aparat penegak hukum supaya memasukkan kondisi korban kekerasan seksual sebagai salah satu alasan yang meringankan dalam hal korban menjadi tersangka tindak pidana yang berkaitan langsung dengan kekerasan seksual yang dialaminya. Dan terakhir, Pemerintah dan DPR segera melakukan pembahasan dan mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan seksual agar tidak semakin banyak korban perkosaan mendapatkan keadilan dan tidak kembali mengalami korban berulang.

Tags:

Berita Terkait