Putusan IPT 1965: Pemerintah Indonesia Bersalah
Utama

Putusan IPT 1965: Pemerintah Indonesia Bersalah

Terdapat 10 tindakan tidak manusiawi dalam tragedi 1965: pembunuhan, pemenjaraan, perbudakan, penyiksaan, penghilangan paksa, kekerasan seksual, pengasingan, propaganda, keterlibatan negara lain juga genosida.

ADY
Bacaan 2 Menit
Demo salah satu korban HAM tahun 1965 di kantor Komnas HAM. Foto: ilst (Sgp)
Demo salah satu korban HAM tahun 1965 di kantor Komnas HAM. Foto: ilst (Sgp)

Majelis hakim Internasional People Tribunal (IPT) 1965 telah membacakan laporan akhirnya dalam perkara pembantaian massal yang terjadi pasca terbunuhnya 6 jenderal dan 1 letnan pada 30 September 1965. Ketua Majelis hakim IPT 1965, Zak Yacoob, mengatakan negara Indonesia bertanggungjawab dan bersalah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan karena memerintahkan dan melakukan, khususnya tentara melalui rantai komando, tindakan yang tidak manusiawi.

Zak menilai tindakan itu merupakan bagian integral serangan yang menyeluruh, meluas dan sistematis terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI), organisasi onderbouw-nya, pemimpin, anggota, pendukung dan keluarganya termasuk banyak orang yang bersimpati. 

Bahkan lebih luas, kepada orang yang sama sekali tidak berkaitan dengan PKI. Serangan itu juga menyasar para pendukung Presiden Soekarno dan anggota progresif Partai Nasional Indonesia (PNI). 

“Setiap tindakan tidak manusiawi tersebut merupakan tindak pidana di Indonesia dan negara-negara beradab lain,” kata Zak dalam rekaman video pembacaan laporan akhir majelis hakim IPT 1965 yang diputar di kantor YLBHI di Jakarta, Rabu (20/07).

Dalam laporan akhir IPT 1965 Zak merinci ada 10 tindakan tidak manusiawi dalam kasus 1965. Pertama, pembunuhan massal, sekitar 400 ribu orang dibunuh dalam peristiwa 1965 dan sesudahnya. Pembunuhan ini serangan meluas dan sistematis terhadap PKI dan semua yang berkaitan, termasuk pendukung Presiden Soekarno dan pendukung PNI. Kejahatan ini melanggar hukum yang berlaku di Indonesia seperti pasal 138 dan 140 KUHP serta UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Kedua, pemenjaraan, Zak memperkirakan paling sedikit 600 ribu orang ditahan, kerja paksa dan diperbudak. Negara Indonesia secara individual atau bersama organisasi lain dengan semena-mena menahan atau memenjarakan banyak anggota, pengikut dan simpatisan PKI, organisasi ounderbouw-nya, termasuk pendukung Presiden Soekarno dan PNI. Kejahatan ini meluas dan sistematis sehingga digolongkan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan serius.

Ketiga, perbudakan, para tahanan melakukan pekerjaan yang ekstrim, kondisi kerja tidak manusiawi dan dikontrol tentara serta PNS. Zak mennganggap tindakan itu sebagai perbudakan yang merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana pasal 9 huruf (c) UU Pengadilan HAM. Perbudakan itu melanggar konvensi Tahun 1930 tentang Kerja Wajib dan Paksa yang telah diratifikasi Indonesia pada 12 Juni 1950.

Keempat, penyiksaan, Zak mengatakan hukum dan kebiasaan internasional melarang segala bentuk penyiksaan. Begitu pula dengan hukum yang berlaku di Indonesia seperti pasal 28 ayat (2) UUD RI 1945, pasal 33 ayat (1) UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM dan pasal 9F UU Pengadilan HAM. “Secara eksplisit menyebut penyiksaan sebagai kejahatan yang harus berlaku surut sesuai pasal 33 UU pengadilan HAM,” ujarnya.

Kelima, penghilangan paksa, mengacu bukti-bukti yang diajukan kepada majelis hakim IPT 1965 Zak menyebut terjadi penghilangan paksa sebagaimana defenisi preambul deklarasi 1992. Penghilangan paksa muncul saat orang ditahan, dipenjara, diculik atau dicabut kebebasannya dengan cara apapun oleh aparat pemerintah atau kelompok terorganisasi atau pribadi yang bertindak atas nama atau didukung langsung atau tidak langsung, bertanggung jawab dan kenal dengan pemerintah.

Tags:

Berita Terkait