Putusan Arbitrase Seharusnya Dipatuhi
Berita

Putusan Arbitrase Seharusnya Dipatuhi

Upaya hukum terhadap eksekusi putusan arbitrase kerap hanya modus untuk berkilah. Masyarakat Indonesia bukan mencari keadilan tapi kemenangan sehingga selalu mencari celah meski sudah kalah.

Mon
Bacaan 2 Menit

 

Guru Besar FH UI, Hikmahanto Juwana berpendapat senada dengan Sugeng. Bahkan, untuk mengganjal eksekusi putusan arbitrase, pihak yang kalah bahkan mengajukan gugatan pembatalan perjanjian. Dengan harapan, jika perjanjian dibatalkan maka proses arbitrase dianggap tidak pernah ada. Ujungnya, putusan arbitrase tak bisa dieksekusi. Kalau sudah begitu bebaslah dari hukuman atau kekalahan.

 

Cara lain, kata Hikmahanto, dengan mengajukan gugatan perkara yang sama ke pengadilan di Indonesia. Dasar gugatannya perbuatan melawan hukum, misalnya dengan alasan saat perjanjian dibuat para pihak dalam keadaan tidak seimbang. “Kondisi masyarakat kita bukan mencari keadilan, tapi kemenangan di pengadilan. Terkadang strategi lawyer suka gila-gilaan (untuk menang),” ujar Hikmahanto.

 

Perlawanan atas putusan arbitrase itulah yang menyebabkan putusan arbitrase jadi mandul lantaran sulit dieksekusi. Terutama putusan arbitrase asing. “Ini membuat Indonesia tidak populer baik sebagai tempat arbitrase maupun pelaksanaan putusan. Akhirnya, orang memilih arbitrase  di luar negeri,” ujar Wakil Ketua Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) M. Husseyn Umar di kesempatan yang sama.

 

Yang sering jadi alasan pembatalan adalah putusan arbitrase dinilai bertentangan dengan kepentingan umum. “Namun kriteria itu tidak jelas sehingga dunia internasional memandangnya sebagai suatu ketidakpastian hukum,” kata Husseyn.

 

Kriteria Kepentingan Umum

Mantan hakim agung, M. Yahya Harahap menjelaskan tiga kriteria kepentingan hukum untuk membatalkan putusan arbitrase. Pertama, bertentangan dengan peraturan perundang-undangan Indonesia. Kedua, putusan bertentangan dengan nilai-nilai yang tumbuh dalam masyarakat, misalnya azas kepatutan dan keadilan. “Kriteria ketertiban umum pada dasarnya bersifat subyektif,” ujar Yahya.

 

Kedua alasan inilah yang dipakai Yahya saat menjadi kuasa hukum Pertamina dalam permohonan pembatalan putusan ICC tersebut. Sesuai aturan di Indonesia, Pertamina merupakan pemegang otoritas kuasa pertambangan minyak dan gas (migas). Pertamina berhak mewakili pemerintah dan mengendalikan kebijakan penetapan status komersial suatu lapangan pertambangan produksi. Perusahaan plat merah itu berwenang penuh untuk mengabulkan atau menolak permohonan komersialisasi PT Lirik meski ada Enhanced Oil Recovery.

 

Namun putusan arbitrase menampik kewenangan Pertamina. Dalam pertimbangannya, majelis arbitrase menyatakan pertamina tidak memiliki diskresi tanpa batas dan harus memutuskan dengan merujuk pada ketentuan dan jiwa dari EOR Contract. Kontrak itu mengikat secara hukum dimana Pertamina secara sukarela masuk dalam perjanjian tersebut bersama PT Lirik sehinga mengikat kedua belah pihak. Tindakan Pertamina yang menolak persetujuan status komersial yang diajukan PT Lirik keliru. Majelis hakim akhirnya memutuskan senada dengan putusan ICC.

Halaman Selanjutnya:
Tags: