PTUN Belum Efektif Tegakkan Negara Hukum
Berita

PTUN Belum Efektif Tegakkan Negara Hukum

Para hakimnya masih berpikiran legal formil.

Ali
Bacaan 2 Menit
Forum Komunikasi Hakim Progresif Indonesia akan menjawab kegelisahan hakim tak hanya berpikiran legal formil. Foto: SGP
Forum Komunikasi Hakim Progresif Indonesia akan menjawab kegelisahan hakim tak hanya berpikiran legal formil. Foto: SGP

Bila membaca Catatan Akhir Tahun 2011 Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, para hakim di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) boleh jadi akan merasa ‘gerah’. Pasalnya, LBH Jakarta –salah satunya- mempersoalkan eksistensi PTUN sebagai salah satu pilar penegak hukum. Sayangnya, peran ini belum dilakukan secara maksimal, yakni selama kurun waktu satu tahun ke belakang.

 

Direktur LBH Jakarta Nurkholis Hidayat menyayangkan sikap PTUN yang kerap memutus hanya berdasarkan bukti formal belaka. “Mereka memutus terlalu formalitis. Hanya berdasarkan bukti formal, tidak melihat latar belakang kasus yang terjadi di masyarakat,” ujarnya di Jakarta, Selasa (20/12).

 

Lebih lanjut, Nurkholis justru mempertanyakan eksistensi PTUN yang sering disebut sebagai salah satu ciri negara hukum oleh para ahli. “Selama ini, para ahli bilang PTUN Itu adalah ciri negara hukum,” tuturnya.

 

Berdasarkan catatan hukumonline, bila merujuk kepada teori yang dikemukakan oleh Julius Stahl -ahli hukum termahsyur dari Jerman- setidaknya ada empat ciri atau elemen negara hukum (rechtstaat). Yakni, (i) Perlindungan hak asasi manusia; (ii) Pembagian kekuasaan; (iii) Pemerintahan berdasarkan undang-undang; (iv) Peradilan Tata Usaha Negara (peradilan administrasi) sebagai wadah warga negara menggugat kebijakan pemerintah.

 

“Bila para ahli berpendapat PTUN itu sebagai salah satu ciri negara hukum, saatnya kita harus men-challenge pendapat mereka tentang efektivitas PTUN untuk menegakkan negara hukum,” jelas Nurkholis.

 

Selama kurun waktu setahun pada 2011, setidaknya ada enam kasus yang ditangani oleh LBH Jakarta yang bermuara ke PTUN. Kebanyakan kasus yang ditangani berkaitan dengan surat keputusan penggusuran atau pembongkaran rumah warga oleh pemerintah daerah.   

 

“Beberapa masalah sengketa tata usaha negara diantaranya adalah sangat normatif dan teknis karena hanya memeriksa bukti formal yang kebanyakan berupa surat. Akibatnya, masalah inti yang diatur dalam keputusan tata usaha negara tidak diperiksa secara berimbang di dalam persidangan,” demikian bunyi catahu 2011 LBH Jakarta.

 

Selain itu, keputusan pejabat yang merugikan langsung masyarakat, dianggap sah dan tetap dapat dilaksanakan meski warga sedang melayangkan gugatan. Kecuali, bila ada putusan pengadilan yang meminta pelaksanaannya ditunda. “Akibatnya, PTUN tidak dapat diandalkan sebagai alat perlindungan kepentingan rakyat,” ujar Nurkholis.

 

Apalagi, ini diperparah dengan banyaknya putusan PTUN yang tidak dieksekusi. Putusan PTUN yang berupa pembatalan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) akhirnya diserahkan kepada pejabat negara yang mengeluarkan KTUN tersebut. “Akibatnya, eksekusi tergantung pada niat baik dari pejabat yang digugat,” sebutnya.

 

Salah satu yang bisa menjawab ‘kegelisahan’ LBH Jakarta agar hakim tak hanya berpikiran legal formil sepertinya bisa terjawab dengan kehadiran para hakim yang berpikiran progresif. Baru-baru ini telah terbentuk sebuah Forum Komunikasi Hakim Progresif Indonesia yang mengumpulkan para hakim yang beraliran progresif di Indonesia.

 

Berdasarkan pantauan hukumonline, tak sedikit hakim PTUN yang tergabung dalam forum ini. Salah satunya adalah Hakim PTUN Semarang Maftuh Effendi. Ia mengaku bergabung ke dalam komunitas itu karena tergerak untuk membumikan hukum progresif di Indonesia. Yakni, hukum yang tak hanya berpaku kepada teks undang-undang, tetapi juga menggali keadilan di masyarakat.

 

“Saya berkeinginan membumikan gagasan hukum progresif itu. Selama ini, belum konkret dijalankan. Orang hanya banyak omong mengenai hukum progresif,” pungkasnya.

Tags: