PSHK: RUU Cipta Kerja Langkah Mundur Reformasi Regulasi
Berita

PSHK: RUU Cipta Kerja Langkah Mundur Reformasi Regulasi

DPR harus menjalankan perannya sebagai penyeimbang kekuasaan sesuai mekanisme check and balances terhadap Presiden dan menyuarakan kepentingan publik yang kritis terhadap RUU Cipta Kerja. Sementara DPR mengaku siap menerima masukan semua elemen masyarakat saat pembahasan.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit

 

Menurut PSHK, penyusunan RUU Cipta Kerja sebuah langkah mundur reformasi regulasi dengan beberapa indikator. Pertama, draf RUU Cipta Kerja berpotensi melanggar dua asas pembentukan perundang-undangan yakni asas “kejelasan rumusan” dan asas “dapat dilaksanakan”. Misalnya, asas kejelasan rumusan dalam perumusannya, pencantuman pasal perubahan langsung digabungkan dengan pasal lama, sehingga menyulitkan siapapun yang membacanya.

 

“Mengingat pasal-pasal yang harus direvisi berasal dari 79 UU, seharusnya penyusun RUU Cipta Kerja menggunakan standar yang sudah diatur dalam UU No. 12/2011,” sarannya.  

 

Asas kedua yang berpotensi dilanggar adalah asas “dapat dilaksanakan”. Hal ini terlihat dalam pengaturan Pasal 173 RUU Cipta Kerja yang mengatur bahwa peraturan pelaksana dari UU yang sudah diubah oleh RUU Cipta Kerja harus disesuaikan dengan RUU Cipta Kerja dalam jangka waktu 1 bulan. “Melakukan perubahan peraturan pelaksana dari 79 UU dalam kurun waktu 1 bulan sebuah mandat yang sama sekali tidak realistis,” kritiknya.  

 

Kedua, banyaknya jumlah peraturan pelaksana yang diamanatkan pembentukannya oleh RUU Cipta Kerja ini (terdiri dari 493 Peraturan Pemerintah, 19 Peraturan Presiden, dan 4 Peraturan Daerah) menunjukkan tidak sensitifnya pembuat undang-undang akan kondisi regulasi di Indonesia. “Jumlah peraturan pelaksana itu seolah mengabaikan fakta bahwa saat ini Indonesia mengalami hiper regulasi.”

 

Alih-alih menggunakan pendekatan omnibus sebagai momentum pembenahan, pemerintah sebagai pengusul justru semakin menambah beban penyusunan regulasi. Hal itu jelas kontraproduktif dengan agenda reformasi regulasi yang sedang dilaksanakan presiden, khususnya dalam menyederhanakan jumlah peraturan perundang-undangan.

 

Ketiga, substansi pengaturan RUU Cipta Kerja bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi dan melanggar UU 12/2011. Terdapat dua pasal yang bertentangan dengan ketentuan hierarki peraturan perundang-undangan dan putusan Mahkamah Konstitusi. Misalnya, Pasal 170 RUU Cipta Kerja mengatur Peraturan Pemerintah dapat digunakan untuk mengubah Undang-undang.

 

Hal itu bertentangan dengan Pasal 7 ayat (1) dan (2) UU No. 12/2011 yang mengatur bahwa Peraturan Pemerintah memiliki kedudukan lebih rendah dibandingkan Undang-undang, sehingga tidak bisa membatalkan maupun mengubah Undang-undang. Selain itu, Pasal 166 RUU Cipta Kerja menyebutkan bahwa Peraturan Presiden bisa membatalkan Peraturan Daerah. Hal itu bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 56/PUU-XIV yang menyebutkan bahwa kewenangan tersebut bertentangan dengan konstitusi.

Tags:

Berita Terkait