PSHK: Minimnya Capaian Legislasi DPR 2020-2023, Hingga Terbatas Akses Informasi
Catatan Akhir Tahun 2023

PSHK: Minimnya Capaian Legislasi DPR 2020-2023, Hingga Terbatas Akses Informasi

Tahun 2023 dari 39 target RUU hanya disahkan 6 RUU. Selain minimnya akses informasi publik, juga terdapat penyempitan ruang sipil terkait partisipasi publik dalam pembentukan legislasi.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit

Proses legislasi menurut Rani berkaitan juga dengan akses informasi dan partisipasi publik secara bermakna. Hal itu ditandai dengan sulitnya mengakses informasi legislasi antara lain rekam jejak proses legislasi yang diunggah laman DPR tidak lengkap dan bukan informasi terbaru. Sekalipun memuat informasi secara lengkap belum tentu disediakan dokumen RUU yang dibahas seperti naskah akademik, draf RUU, dan daftar inventarisasi masalah (DIM).

Contohnya pembahasan RUU Perubahan Kedua UU ITE yang dilakukan setidaknya 5 kali pembahasan oleh DPR dan pemerintah tapi informasi pembahasan itu tidak pernah diunggah dalam laman DPR. Begitu juga RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET), di mana informasi yang tercantum di laman DPR hanya agenda rapat September 2022. Padahal pemerintah dan DPR telah mengadakan rapat kerja bersama pada November 2023.

Terbatasnya akses informasi

Rani mengingatkan terbatasnya akses informasi legislasi menyulitkan publik mengawal pembahasn RUU. Ujungnya, RUU tersebut minim partisipasi publik secara bermakna. Keterbukaan informasi dalam proses legislasi berfungsi untuk memudahkan masyarakat memberi masukan dan pendapat tehradap RUU yang dibahas. Keterbukaan dan transparansi membahas RUU masih menjadi PR yang tak kunjung dibenahi DPR. Justru yang dilakukan malah menghambat partisipasi publik dalam membahas RUU dan ditambah pandangan sempit yang menilai partisipasi sekedar formalitas.

“Warga negara punya hak dalam proses legislasi seperti hak untuk didengar pendapatnya, dipertimbangkan pendapatnya, dan mendapat tanggapan atau jawaban dari masukan yang telah diberikan itu,” ujar Rani.

Rani heran melihat DPR justru relatif cepat membahas RUU yang ditolak publik. Seperti RUU Perubahan Kedua UU ITE, RUU Kesehatan, RUU P2SK, dan RUU Ibu Kota Negara (IKN). Misalnya RUU P2SK yang memuat 27 bab dan lebih 300 pasal serta mengamandemen 17 peraturan perundang-undangan di sektor keuangan hanya dibahas dalam waktu 2 bulan. Sementara RUU yang didorong publik untuk segera disahkan seperti RUU Perampasan Aset dan RUU Pelindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) sampai sekarang mandek.

Penyempitan ruang sipil

Pengabaian hak publik dalam proses pembahasan RUU merupakan bentuk dari degradasi demokrasi. Disahkannya RUU Perubahan Kedua UU ITE semakin mempersempit ruang kebebasan sipil karena membungkam masyarakat untuk bersuara. Produk hukum yang diterbitkan malah memfasilitasi kembalinya praktik orde baru seperti disahkannya RUU Aparatur Sipil Negara (ASN) yang membuka ruang besar bagi militer untuk mengampu jabatan sipil.

“Ini kemunduran sektor reformasi keamanan,” ujarnya.,

Pada kesempatan yang sama, peneliti PSHK, Violla Reininda, menyebut ada penyempitan ruang sipil terkait partisipasi publik dalam pembentukan legislasi. Momentum 25 tahun reformasi berpotensi muncul krisis identitas apakah mau melanjutkan demokrasi atau kembali pada otoritarianisme.

Hal itu bisa dilihat dari indeks demokrasi Indonesia yang dilansir berbagai lembaga. Partisipasi publik secara bermakna dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai upaya menjaga kebebasan sipil sudah dimandatkan Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan uji Formil UU Cipta Kerja yakni putusan No.91/PUU-XVIII/2020.

Putusan MK itu memandatkan partisipasi bermakna yang dimaksud tak sekedar bersifat formil sebagaimana yang dijalankan selama ini. Ada pra syarat yang harus dipenuhi yakni hak untuk didengar pendapatnya, dipertimbangkan pendapatnya, dan mendapat jawaban jika pendapat itu tidak diadopsi dalam kebijakan. Perancangan UU harus terarah, terpadu dan sistematis dengan menjelaskan arah jangkauan pengaturan dan urgensinya.

“Hal itu harus didukung justifikasi akademik yang memadai, jangan bikin RUU yang tidak berdasarkan fakta dan keilmuan,” pungkas Violla.

Tags:

Berita Terkait