PSHK: Minimnya Capaian Legislasi DPR 2020-2023, Hingga Terbatas Akses Informasi
Catatan Akhir Tahun 2023

PSHK: Minimnya Capaian Legislasi DPR 2020-2023, Hingga Terbatas Akses Informasi

Tahun 2023 dari 39 target RUU hanya disahkan 6 RUU. Selain minimnya akses informasi publik, juga terdapat penyempitan ruang sipil terkait partisipasi publik dalam pembentukan legislasi.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
 Asisten peneliti PSHK, Bugivia Maharani (kiri bawah) dan peneliti PSHK, Violla Reininda (kanan atas) dalam Catatan Akhir Tahun Legislasi 2023: Kemunduran Reformasi dan Merosotnya Demokrasi, Jumat (22/12/2023). Foto: Tangkapan layar yotube
Asisten peneliti PSHK, Bugivia Maharani (kiri bawah) dan peneliti PSHK, Violla Reininda (kanan atas) dalam Catatan Akhir Tahun Legislasi 2023: Kemunduran Reformasi dan Merosotnya Demokrasi, Jumat (22/12/2023). Foto: Tangkapan layar yotube

DPR berperan penting dalam merancang, dan membahas rancangan undang-undang (RUU) bersama pemerintah dan DPD. Mengingat dari 3 fungsi DPR salah satunya legislasi. Tapi sayangnya periode 2020-2023 jumlah RUU yang disahkan jauh dari target yang ditetapkan dalam program legislasi nasional (prolegnas) termasuk prolegnas prioritas.

Asisten peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Bugivia Maharani, mencatat 38 RUU disetujui DPR, DPD, dan pemerintah sebagai Prolegnas Prioritas 2023. Kemudian jumlah itu bertambah menjadi 39 RUU. Tapi miris,  RUU yang mampu diselesaikan hanya 6 RUU, di mana 2 RUU menggunakan metode omnibus law yakni UU No.4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) dan UU No.17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.

Perempuan yang disapa Rani itu mencatat, periode 2020-2023 dari target 37 RUU yang disahkan tahun 2020 hanya 3 RUU, begitu juga Prolegnas Prioritas 2021. Kemudian Prolegnas 2022 dari target 40 RUU, hanya7 RUU yang rampung dan disetujui menjadi UU. Kemudian tahun 2023 dari target 39 RUU, hanya disahkan 6 RUU. Dalam periode itu target yang tercapai hanya 8,1 persen sampai 17,5 persen.

“Sayangnya tidak berpengaruh signifikan pada kinerja dan tahun sebelumnya harusnya menjadi evaluasi untuk dibenahi,” ujarnya dalam diskusi bertema Catatan Akhir Tahun Legislasi 2023: Kemunduran Reformasi dan Merosotnya Demokrasi, Jumat (22/12/2023) lalu.

Baca juga:

Rani menyebut rendahnya capaian kuantitas RUU prolegnas prioritas tahunan berbanding lurus dengan kinerja legislasi DPR dalam periode 5 tahun karena tidak pernah mencapai 50 persen dari target RUU. Misalnya periode 2010-2014 dari 262 RUU yang ditargetkan hanya mampu menuntaskan 70 RUU. Periode 2015-2019 dari 189 RUU hanya disahkan 33 RUU dan periode 2020-2024 dari 259 RUU yang disahkan sampai tahun 2023 hanya 19 RUU.

Rani berkseimpulan, RUU yang ditetapkan dalam prolegnas prioritas setiap tahun terlalu banyak ketimbang kemampuan DPR dan pemerintah membahas RUU. Seharusnya prolegnas menjadi pedoman untuk percepatan pembentukan peraturan perundang-undangan dan bagian dari reformasi pembangunan hukum nasional.

Proses legislasi menurut Rani berkaitan juga dengan akses informasi dan partisipasi publik secara bermakna. Hal itu ditandai dengan sulitnya mengakses informasi legislasi antara lain rekam jejak proses legislasi yang diunggah laman DPR tidak lengkap dan bukan informasi terbaru. Sekalipun memuat informasi secara lengkap belum tentu disediakan dokumen RUU yang dibahas seperti naskah akademik, draf RUU, dan daftar inventarisasi masalah (DIM).

Contohnya pembahasan RUU Perubahan Kedua UU ITE yang dilakukan setidaknya 5 kali pembahasan oleh DPR dan pemerintah tapi informasi pembahasan itu tidak pernah diunggah dalam laman DPR. Begitu juga RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET), di mana informasi yang tercantum di laman DPR hanya agenda rapat September 2022. Padahal pemerintah dan DPR telah mengadakan rapat kerja bersama pada November 2023.

Terbatasnya akses informasi

Rani mengingatkan terbatasnya akses informasi legislasi menyulitkan publik mengawal pembahasn RUU. Ujungnya, RUU tersebut minim partisipasi publik secara bermakna. Keterbukaan informasi dalam proses legislasi berfungsi untuk memudahkan masyarakat memberi masukan dan pendapat tehradap RUU yang dibahas. Keterbukaan dan transparansi membahas RUU masih menjadi PR yang tak kunjung dibenahi DPR. Justru yang dilakukan malah menghambat partisipasi publik dalam membahas RUU dan ditambah pandangan sempit yang menilai partisipasi sekedar formalitas.

“Warga negara punya hak dalam proses legislasi seperti hak untuk didengar pendapatnya, dipertimbangkan pendapatnya, dan mendapat tanggapan atau jawaban dari masukan yang telah diberikan itu,” ujar Rani.

Rani heran melihat DPR justru relatif cepat membahas RUU yang ditolak publik. Seperti RUU Perubahan Kedua UU ITE, RUU Kesehatan, RUU P2SK, dan RUU Ibu Kota Negara (IKN). Misalnya RUU P2SK yang memuat 27 bab dan lebih 300 pasal serta mengamandemen 17 peraturan perundang-undangan di sektor keuangan hanya dibahas dalam waktu 2 bulan. Sementara RUU yang didorong publik untuk segera disahkan seperti RUU Perampasan Aset dan RUU Pelindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) sampai sekarang mandek.

Penyempitan ruang sipil

Pengabaian hak publik dalam proses pembahasan RUU merupakan bentuk dari degradasi demokrasi. Disahkannya RUU Perubahan Kedua UU ITE semakin mempersempit ruang kebebasan sipil karena membungkam masyarakat untuk bersuara. Produk hukum yang diterbitkan malah memfasilitasi kembalinya praktik orde baru seperti disahkannya RUU Aparatur Sipil Negara (ASN) yang membuka ruang besar bagi militer untuk mengampu jabatan sipil.

“Ini kemunduran sektor reformasi keamanan,” ujarnya.,

Pada kesempatan yang sama, peneliti PSHK, Violla Reininda, menyebut ada penyempitan ruang sipil terkait partisipasi publik dalam pembentukan legislasi. Momentum 25 tahun reformasi berpotensi muncul krisis identitas apakah mau melanjutkan demokrasi atau kembali pada otoritarianisme.

Hal itu bisa dilihat dari indeks demokrasi Indonesia yang dilansir berbagai lembaga. Partisipasi publik secara bermakna dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai upaya menjaga kebebasan sipil sudah dimandatkan Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan uji Formil UU Cipta Kerja yakni putusan No.91/PUU-XVIII/2020.

Putusan MK itu memandatkan partisipasi bermakna yang dimaksud tak sekedar bersifat formil sebagaimana yang dijalankan selama ini. Ada pra syarat yang harus dipenuhi yakni hak untuk didengar pendapatnya, dipertimbangkan pendapatnya, dan mendapat jawaban jika pendapat itu tidak diadopsi dalam kebijakan. Perancangan UU harus terarah, terpadu dan sistematis dengan menjelaskan arah jangkauan pengaturan dan urgensinya.

“Hal itu harus didukung justifikasi akademik yang memadai, jangan bikin RUU yang tidak berdasarkan fakta dan keilmuan,” pungkas Violla.

Tags:

Berita Terkait