Prokontra Sita Pidana vs Sita Umum Pailit
Berita

Prokontra Sita Pidana vs Sita Umum Pailit

Apakah Pasal 31 UU Kepailitan di atas Pasal 39 ayat (2) KUHAP, atau sebaliknya.

HRS
Bacaan 2 Menit

Apabila barang yang hendak disita penyidik adalah barang yang telah dibawah kekuasaan kurator, Edward mengatakan barang tersebut tetap disita mengingat sifat dan karakter hukum pidana tersebut. namun, Edward menegaskan bahwa barang yang akan disita tersebut tidak secara otomatis diambil alih oleh penyidik.

Guru besar ini mengatakan ada duacara yang dapat dilakukan jika terjadi benturan kewenangan. Pertama, polisi bisa menyita barang yang hendak disita, tetapi penguasaannya tetap berada pada pihak yang telah menyita pertama kali, dalam hal ini adalah kurator. Kedua, menunggu salah satu perkara selesai.

Tidak demikian halnya dengan Sekretaris Direktorat Jenderal AHU Kementerian Hukum dan HAM Freddy Harris. Freddy mengatakan jika telah terjadi sita umum kepailitan, sita pidana tidak dapat dilakukan. Soalnya, ada aturan hukum yang melarang untuk sita rangkap.  Hal ini terlihat dari Pasal 201 HIR dan 463 Rv. Pasal-pasal tersebut mengatur bahwa apabila ada dua permohonan pelaksanaan atau lebih yang diajukan sekaligus kepada debitur, cukup dibuatkan satu berita acara penyitaan saja.

Lebih lagi, tujuan penyitaan itu sendiri adalah untuk menjaga hak para pihak agar debitor tidak menggelapkan atau membawa barang-barangnya dari kreditor. Begitu juga halnya dengan sita pidana. Tidak ada hal yang berbeda dari dua hal ini. Hanya saja, untuk kepailitan, penyitaan aset debitor dalam perkara kepailitan bertujuan untuk menambah boedel pailit dan melindungi kreditor-kreditor konkuren lainnya. Sedangkan sita pidana, hanya untuk pembuktian semata.

Terkait dengan Pasal 39 ayat (2) KUHAP, Freddy justru menginterpretasikan bahwa penyitaan tersebut bukan berarti barang yang disita berpindah penguasaan ke bawah penyidik. Akan tetapi, penyidik dapat meregister kepentingannya kepada kurator. Artinya, penyidik sebagai penyelamat kepentingan negara didudukkan sebagai kreditor preferen layaknya pajak.

Begitu juga halnya dengan pengajar Hukum Kepailitan Fakultas Hukum Universitas Airlangga M Hadi Subhan. Hadi mengatakan kedudukan sita umum lebih tinggi daripada sita pidana. Intisari dari hukum kepailitan adalah sita umum atas seluruh kekayaan debitor. Lebih lagi, Pasal 31 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) mengatur putusan pernyataan pailit berakibat segala penetapan pelaksanaan pengadilan terhadap bagian dari harta kekayaan debitor yang telah dimulai sejak kepailitan harus dihentikan seketika. Bahkan, debitor juga harus dilepaskan dari tahanan.

Hadi juga menguatkan pendapatnya bahwa putusan pengadilan hanya dapat dibatalkan dengan putusan pengadilan juga. Sita umum kepailitan baru dapat terjadi ketika majelis hakim memutus pailit. Sedangkan sita pidana hanya bersifat penetapan. Sehingga, penetapan sita pidana tidak dapat menghapuskan putusan majelis hakim pengadilan niaga.

“Pasal 39 ayat (2) KUHAP itu memang biang keroknya. Padahal, tujuan dari sita umum kepailitan itu sendiri adalah untuk mencegah siapa cepat dia dapat dan siap kuat dia menang,” pungkasnya di kesempatan yang sama.

Tags:

Berita Terkait