Prokontra Sita Pidana vs Sita Umum Pailit
Berita

Prokontra Sita Pidana vs Sita Umum Pailit

Apakah Pasal 31 UU Kepailitan di atas Pasal 39 ayat (2) KUHAP, atau sebaliknya.

HRS
Bacaan 2 Menit
Prokontra Sita Pidana vs Sita Umum Pailit
Hukumonline

Hukum pidana dan hukum perdata adalah dua hukum yang sering beririsan atau bersinggungan, termasuk halnya dalam hukum kepailitan ketika terjadi penyitaan aset milik debitor. Kurator dalam menjalankan tugasnya sering berhadap-hadapan dengan penyidik Polri ketika berkaitan dengan sita pidana atas bagian dari harta pailit debitor.

Hal ini mengingatkan kita pada salah satu kasus antara Kurator PT SCR melawan Bareskrim Polri. Kurator menggugat Bareskrim karena telah menyita harta pailit PT SCR yangberada  dibawah penguasaan kurator. Penyitaan pidana atas sita umum pailit tersebut terjadi karena sebagian harta pailit diduga hasil dari tindak pidana pencucian uang. Terhadap kasus ini, pengadilan tingkat pertama mengabulkan gugatan kurator. Tetapi tidak demikian halnya di tingkat Mahkamah Agung. Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan Niaga tersebut.

Persoalan ini menimbulkan perdebatan di kalangan kurator, terutama bagaimana kedudukan sita pidana di atas sita umum hukum kepailitan. Pertanyaan itu antara lain mengemuka di kalangan anggota Himpunan Kurator dan Pengurus Indonesia.Menanggapi hal ini, perwakilan Divisi Hukum Polri AKBP W Marbun mengatakan sita pidana lebih didahulukan daripada sita umum pailit. Bahkan, sita pidana tetap dapat dilakukan meskipun barang tersebut telah dilakukan sita umum pailit oleh kurator.

Marbun merujuk pada asas kepentingan hukum publik lebih diutamakan daripada hukum keperdataan. Lebih lagi, kewenangan tersebut diberikan oleh Pasal 39 ayat (2) KUHAP. Pasal tersebut mengatur bahwa benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau karena pailit dapat juga disita untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pengadilan perkara pidana.

“Artinya, sepanjang benda sitaan perkara perdata mempunyai kaitan dengan tindak pidana yang sedang diperiksa, dapat disita oleh penyidik,” ucap Marbun dalam seminar hukum kepailitan di Jakarta, Kamis (02/5).

Tujuan dari penyitaan itu sendiri adalah untuk kepentingan pembuktian baik dari penyidik, penuntutan, dan pembuktian di persidangan. Setelah kasus pidana selesai, barang yang disita tersebut baru dapat dikembalikan kepada yang berhak atau dirampas atau dimusnahkan sesuai dengan putusan Majelis.

Senada dengan Marbun, Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Edward Omar Sharif Harief mengatakan  hukum publik lebih diutamakan daripada hukum privat. Hukum pidana adalah hukum publik. Untuk itu, hukum publik memiliki karakteristik pemaksaan oleh aparat negara.

Apabila barang yang hendak disita penyidik adalah barang yang telah dibawah kekuasaan kurator, Edward mengatakan barang tersebut tetap disita mengingat sifat dan karakter hukum pidana tersebut. namun, Edward menegaskan bahwa barang yang akan disita tersebut tidak secara otomatis diambil alih oleh penyidik.

Guru besar ini mengatakan ada duacara yang dapat dilakukan jika terjadi benturan kewenangan. Pertama, polisi bisa menyita barang yang hendak disita, tetapi penguasaannya tetap berada pada pihak yang telah menyita pertama kali, dalam hal ini adalah kurator. Kedua, menunggu salah satu perkara selesai.

Tidak demikian halnya dengan Sekretaris Direktorat Jenderal AHU Kementerian Hukum dan HAM Freddy Harris. Freddy mengatakan jika telah terjadi sita umum kepailitan, sita pidana tidak dapat dilakukan. Soalnya, ada aturan hukum yang melarang untuk sita rangkap.  Hal ini terlihat dari Pasal 201 HIR dan 463 Rv. Pasal-pasal tersebut mengatur bahwa apabila ada dua permohonan pelaksanaan atau lebih yang diajukan sekaligus kepada debitur, cukup dibuatkan satu berita acara penyitaan saja.

Lebih lagi, tujuan penyitaan itu sendiri adalah untuk menjaga hak para pihak agar debitor tidak menggelapkan atau membawa barang-barangnya dari kreditor. Begitu juga halnya dengan sita pidana. Tidak ada hal yang berbeda dari dua hal ini. Hanya saja, untuk kepailitan, penyitaan aset debitor dalam perkara kepailitan bertujuan untuk menambah boedel pailit dan melindungi kreditor-kreditor konkuren lainnya. Sedangkan sita pidana, hanya untuk pembuktian semata.

Terkait dengan Pasal 39 ayat (2) KUHAP, Freddy justru menginterpretasikan bahwa penyitaan tersebut bukan berarti barang yang disita berpindah penguasaan ke bawah penyidik. Akan tetapi, penyidik dapat meregister kepentingannya kepada kurator. Artinya, penyidik sebagai penyelamat kepentingan negara didudukkan sebagai kreditor preferen layaknya pajak.

Begitu juga halnya dengan pengajar Hukum Kepailitan Fakultas Hukum Universitas Airlangga M Hadi Subhan. Hadi mengatakan kedudukan sita umum lebih tinggi daripada sita pidana. Intisari dari hukum kepailitan adalah sita umum atas seluruh kekayaan debitor. Lebih lagi, Pasal 31 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) mengatur putusan pernyataan pailit berakibat segala penetapan pelaksanaan pengadilan terhadap bagian dari harta kekayaan debitor yang telah dimulai sejak kepailitan harus dihentikan seketika. Bahkan, debitor juga harus dilepaskan dari tahanan.

Hadi juga menguatkan pendapatnya bahwa putusan pengadilan hanya dapat dibatalkan dengan putusan pengadilan juga. Sita umum kepailitan baru dapat terjadi ketika majelis hakim memutus pailit. Sedangkan sita pidana hanya bersifat penetapan. Sehingga, penetapan sita pidana tidak dapat menghapuskan putusan majelis hakim pengadilan niaga.

“Pasal 39 ayat (2) KUHAP itu memang biang keroknya. Padahal, tujuan dari sita umum kepailitan itu sendiri adalah untuk mencegah siapa cepat dia dapat dan siap kuat dia menang,” pungkasnya di kesempatan yang sama.

Tags:

Berita Terkait