Prof. Atip Latipulhayat: Arah Baru Hukum Internasional Perlu Dikawal, dari Eurosentrisme Menuju Pluralisme
Pengukuhan Guru Besar

Prof. Atip Latipulhayat: Arah Baru Hukum Internasional Perlu Dikawal, dari Eurosentrisme Menuju Pluralisme

Mewujudkan norma hukum internasional yang berbasis pluralisme nilai dan budaya berbagai bangsa di dunia. Indonesia perlu terus menerus berpartisipasi aktif membentuk norma hukum internasional yang melindungi kepentingan nasionalnya.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit

 

Atip menjelaskan bahwa perubahan ini dipengaruhi oleh relasi hukum nasional dan hukum internasional yang kini menjadi saling membutuhkan. Hubungan hukum internasional terhadap hukum nasional tak lagi dipandang dalam orientasi hirarkis. Keduanya saling membutuhkan dalam relasi yang berbasis jaringan ketimbang menempatkan satu sama lain sebagai subordinat.

 

Ditambah lagi meningkatnya saling ketergantungan dan kerja sama antar negara dalam berbagai bidang mendorong kebutuhan adanya satu payung hukum bersama. Payung hukum bersama ini disebut Atip dengan istilah konstitusionalisme global. Atip menyimpulkan bahwa hukum internasional telah mengarah kepada pendekatan berbasis nilai-nilai global.

 

Politik Hukum Internasional Indonesia

Menyikapi arah baru hukum internasional yang telah bergeser dari hegemoni Eurosentrisme menuju harmoni pluralisme nilai dan budaya, politik hukum internasional Indonesia yang dinilai tepat oleh Atip adalah keseimbangan antara kepentingan nasional dan kewajiban internasional. Melalui cara ini Indonesia dapat ikut aktif mengawal pembentukan hukum internasional.

 

Keseimbangan ini menurut Atip tidak keluar dari prinsip bebas aktif yang diabdikan untuk kepentingan nasional. Pengakuan, penerimaan, akomodasi, dan harmoni pertemuan kepentingan nasional tiap negara akan melahirkan kewajiban internasional antar negara secara timbal balik yang saling menghargai kepentingan nasional masing-masing negara.

 

Secara khusus Atip mengambil contoh strategi Australia dalam merumuskan kepentingan nasional sebelum meratifikasi perjanjian internasional. Melalui contoh ini Indonesia dapat mempersiapkan dengan lebih terukur dan berstruktur kepentingan nasional apa saja yang harus dilindungi sambil ikut membentuk hukum internasional.

 

Pemerintah Australia wajib menyerahkan National Interest Analysis kepada parlemen yang berisikan rincian lengkap berkaitan perjanjian internasional tersebut. Isinya adalah ketentuan internasional apa saja yang telah mengikat Australia, analisis keuntungan dan kerugian jika Australia terikat atau tidak terikat perjanjian internasional dimaksud, dan penjelasan mengenai tindakan yang telah dilakukan serta perlu dilakukan pemerintah kemudian dalam rangka implementasi perjanjian internasional.

 

“Dalam kerangka ini Indonesia didorong untuk berpartisipasi secara aktif dalam membentuk norma baru hukum internasional untuk melindungi kepentingan nasionalnya,” kata Atip menutup orasinya.

 

Tags:

Berita Terkait