Prof. Atip Latipulhayat: Arah Baru Hukum Internasional Perlu Dikawal, dari Eurosentrisme Menuju Pluralisme
Pengukuhan Guru Besar

Prof. Atip Latipulhayat: Arah Baru Hukum Internasional Perlu Dikawal, dari Eurosentrisme Menuju Pluralisme

Mewujudkan norma hukum internasional yang berbasis pluralisme nilai dan budaya berbagai bangsa di dunia. Indonesia perlu terus menerus berpartisipasi aktif membentuk norma hukum internasional yang melindungi kepentingan nasionalnya.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Prof. Atip Latipulhayat saat membacakan orasi ilmiah, Sabtu (17/11) di Graha Sanusi, Universitas Padjajaran.
Prof. Atip Latipulhayat saat membacakan orasi ilmiah, Sabtu (17/11) di Graha Sanusi, Universitas Padjajaran.

Eurosentrisme hukum internasional tidak bisa dilepaskan dari konteks hegemoni politik bangsa Eropa sejak abad ke-15. Pada masa itu, hukum internasional bahkan dibentuk sebagai instrumen penting bagi politik kolonialisme Eropa. Fakta historis ini rupanya masih melekat pada perkembangan hukum internasional hingga sekarang.

 

Berangkat dari asumsi ini, pertanyaan penting diajukan oleh Atip Latipulhayat dalam orasi ilmiah penerimaan gelar Profesor Hukum Internasional untuknya di Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Sabtu (17/11) bulan lalu. Bagaimana cara menjadikan hukum internasional betul-betul bersifat dan berkarakter internasional?

 

Mengutip pandangan sejumlah ahli hukum internasional, Atip menilai bahwa jawaban yang paling fundamental adalah menggeser paradigma pembentukan hukum internasional dari “Western construct  ke “global construct. Pandangan ini dipaparkan lewat pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar bidang Ilmu Hukum Internasional dengan judul Internasionalisasi Hukum Internasional: Dari Hegemoni ke Harmoni.

 

“Eurosentrisme hukum internasional mengharuskan kita untuk mengarahkan hegemoni norma menjadi harmonisasi norma hukum internasional yang berbasis pluralisme nilai dan budaya,” kata Atip mengenai visi dalam orasinya.

 

Sebagai Kepala Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Atip yang resmi mencapai puncak keilmuan di bidang hukum internasional justru mengajukan sejumlah kritik alih-alih puja puji terhadap hukum internasional. Kritik ini nampak mewakili perspektif negara berkembang yang melihat ketimpangan dalam pembangunan hukum internasional hingga hari ini.

 

Sejak awal dibentuk, sistem hukum internasional dinilai Atip sangat politis karena bergantung kepada kekuatan politik negara-negara. Negara-negara Barat sebagai pusat adi daya menjadi yang paling berpengaruh dalam pergulatan kekuatan politik tersebut. Bahkan, pembentukan hukum internasional juga ditunggangi kolonialisme dan imperialisme. Menyitir pendapat koleganya, Prof. Antony Anghie, ia mengatakan “colonialism is the central element in the development of modern international law”.

 

(Baca Juga: Prof. Susi Dwi Harijanti : Semakin Dibutuhkan Perspektif Internasional dalam Hukum Tata Negara Indonesia)

 

Namun Atip tidak bermaksud menafikan eksistensi hukum internasional sebagai hukum yang mengikat negara-negara di dunia. Atip menyebutkan hakikat sejati dari hukum internasional ialah norma yang merefleksikan nilai-nilai universal dari beragam nilai dan budaya berbagai bangsa di dunia. Hanya saja realita sejarah telah menempatkan nilai dan budaya bangsa Eropa menjadi nilai dan norma universal tersebut.

 

Masalahnya adalah realita tersebut cenderung masih berlanjut hingga sekarang. Kolonialisme dan imperialisme Eropa memang tinggal sejarah, namun norma dan praktik-praktik hukum internasional masih didominasi semangat kolonialisme Eropa.

 

Praktik anggota tetap Dewan Keamanan (PBB-red.) dalam menerapkan hak veto adalah contoh terbaik ketika tafsir kolonial diadopsi dalam hukum internasional modern, Atip memberi contoh.

 

Fakta menunjukkan bahwa hak yang diberikan kepada lima anggota tetap Dewan Keamanan justru digunakan untuk tujuan subjektif seperti yang terjadi pada era Perang Dingin. Termasuk veto terhadap keanggotaan Palestina di PBB oleh Amerika Serikat meskipun telah mendapat persetujuan mayoritas anggota lainnya. Alih-alih digunakan secara objektif dalam kerangka tanggung jawab menjaga perdamaian dan keamanan internasional, tujuan subjektif berbasis kepentingan nasional jutsru mewarnai penggunaan hak veto.

 

Di sisi lain, Atip melihat jalan untuk mewujudkan hukum internasional hakiki yang benar-benar berkarakter internasional telah semakin terbuka. Ia melacak fakta hingga ke masa Perang Dunia II yang menunjukkan usaha menggeser paradigma pembentukan hukum internasional dari “Western construct  ke “global construct telah terjadi.

 

Hukum internasional yang awalnya adalah “klaim  dengan sokongan kekuatan politik Barat mulai beralih menjadi  “persetujuanmasyarakat internasional. Pasca Perang Dunia II, negara-negara berkembang pun mulai mengambil peran penting dalam pembentukan hukum internasional.

 

Pengakuan rumusan isu universal seperti Hak Asasi Manusia, anti diskriminasi, bahkan konsep negara kepulauan—yang ikut diperjuangkan Indonesia—sebagai hukum internasional adalah sebagian bukti kuat. Pembentukan hukum internasional semakin mengakomodasi universalitas dan kepentingan supra-nasional yang sejati. Menurut Atip, universalitas sejati adalah penghormatan dan penerimaan terhadap budaya dan nilai bangsa lain.

 

Atip menjelaskan bahwa perubahan ini dipengaruhi oleh relasi hukum nasional dan hukum internasional yang kini menjadi saling membutuhkan. Hubungan hukum internasional terhadap hukum nasional tak lagi dipandang dalam orientasi hirarkis. Keduanya saling membutuhkan dalam relasi yang berbasis jaringan ketimbang menempatkan satu sama lain sebagai subordinat.

 

Ditambah lagi meningkatnya saling ketergantungan dan kerja sama antar negara dalam berbagai bidang mendorong kebutuhan adanya satu payung hukum bersama. Payung hukum bersama ini disebut Atip dengan istilah konstitusionalisme global. Atip menyimpulkan bahwa hukum internasional telah mengarah kepada pendekatan berbasis nilai-nilai global.

 

Politik Hukum Internasional Indonesia

Menyikapi arah baru hukum internasional yang telah bergeser dari hegemoni Eurosentrisme menuju harmoni pluralisme nilai dan budaya, politik hukum internasional Indonesia yang dinilai tepat oleh Atip adalah keseimbangan antara kepentingan nasional dan kewajiban internasional. Melalui cara ini Indonesia dapat ikut aktif mengawal pembentukan hukum internasional.

 

Keseimbangan ini menurut Atip tidak keluar dari prinsip bebas aktif yang diabdikan untuk kepentingan nasional. Pengakuan, penerimaan, akomodasi, dan harmoni pertemuan kepentingan nasional tiap negara akan melahirkan kewajiban internasional antar negara secara timbal balik yang saling menghargai kepentingan nasional masing-masing negara.

 

Secara khusus Atip mengambil contoh strategi Australia dalam merumuskan kepentingan nasional sebelum meratifikasi perjanjian internasional. Melalui contoh ini Indonesia dapat mempersiapkan dengan lebih terukur dan berstruktur kepentingan nasional apa saja yang harus dilindungi sambil ikut membentuk hukum internasional.

 

Pemerintah Australia wajib menyerahkan National Interest Analysis kepada parlemen yang berisikan rincian lengkap berkaitan perjanjian internasional tersebut. Isinya adalah ketentuan internasional apa saja yang telah mengikat Australia, analisis keuntungan dan kerugian jika Australia terikat atau tidak terikat perjanjian internasional dimaksud, dan penjelasan mengenai tindakan yang telah dilakukan serta perlu dilakukan pemerintah kemudian dalam rangka implementasi perjanjian internasional.

 

“Dalam kerangka ini Indonesia didorong untuk berpartisipasi secara aktif dalam membentuk norma baru hukum internasional untuk melindungi kepentingan nasionalnya,” kata Atip menutup orasinya.

 

Tags:

Berita Terkait