Problematika Anak yang Berhadapan dengan Hukum
Kolom

Problematika Anak yang Berhadapan dengan Hukum

Terkait kasus “perundungan” atau penggeroyokan yang terjadi di kota Pontianak, Kalimantan Barat, terdapat tiga pendekatan analisis yang perlu diperhatikan.

Bacaan 2 Menit

 

Sementara pengertian penganiayaan ringan menurut hukum pidana merupakan penganiayaan yang tidak membuat korban menjadi sakit atau tidak membuat korban menjadi terhalang untuk melakukan jabatan atau pekerjaan sehari-hari. Padahal menurut fakta yang ada, korban menjadi jatuh sakit, tidak dapat bersekolah, menjalani rawat inap di RS, bahkan mengalami trauma psikis akibat peristiwa yang dialaminya. Dengan demikian pihak medis dan/atau pihak kepolisian perlu memahami bahwa perbuatan pelaku merupakan suatu penganiayaan biasa bukan penganiayaan ringan jika tidak menggolongkannya sebagai penganiayaan yang menyebabkan luka berat. Dengan demikian para pelaku diduga melakukan tindak pidana yag diatur dalam Pasal 80 ayat (1) UU PA.

 

Kedua, setelah mengetahui perbuatan pelaku yang memang merupakan suatu tindak pidana, selanjutnya perlu diketahui siapa saja pelaku yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana atas perbuatan tersebut. Van Hamel memberi ukuran mengenai pertanggung jawaban yang meliputi 3 hal, yaitu: pelaku memahami secara sungguh-sungguh akibat dari perbuatannya; pelaku mampu menginsyafi bahwa perbuatannya itu bertentangan dengan ketertiban masyarakat dan yang ketiga, bahwa pelaku mampu untuk menentukan kehendak untuk berbuat.

 

Penyidik dan pemeriksa, harus dapat mencocokkan keadaan pelaku dengan tiga kriteria ini berdasarkan pemeriksaan verbal dan pemeriksaan psikologi serta pemeriksaan kejiwaan oleh psikiater. Secara umum, anak sebenarnya dapat bertanggung jawab namun tidak secara penuh dikarenakan kondisi mentalnya yang belum sempurna sebagaimana orang dewasa. Hal inilah yang menjadi landasan pentingnya pengaturan secara khusus jika anak yang masih di bawah usia 18 tahun ternyata harus berurusan dengan hukum karena melakukan tindak pidana.

 

UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) membagi kategori anak yang berhadapan dengan hukum sebagai anak yang menjadi pelaku, korban, atau saksi dalam suatu tondak pidana. Dalam bagian penjelasan, UU SPPA juga mencatat bahwa anak perlu mendapat perlindungan dari dampak negatif perkembangan pembangunan yang cepat, arus globalisasi, kemajuan ilmu dan teknologi, serta perubahan gaya dan cara hidup sebagian orang tua yang telah membawa perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku anak.

 

Dengan kata lain, orang dewasa sebenarnya juga turut berperan dalam penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh anak, baik disadari maupun tidak. Situasi ini digambarkan sebagai faktor di luar diri anak. Jika dikonstruksikan, maka para pelaku yang jika diasumsikan usianya masih kurang dari 18 tahun karena masih duduk di bangku SMA dianggap: memahami dengan sungguh (mampu memaknai) bahwa perbuatannya dapat mengakibatkan orang lain merasakan sakit atau terluka, mampu menginsyafi bahwa perbuatannya menganiaya orang lain itu merupakan tindakan yang bertentangan dengan ketertiban masyarakat, serta para pelaku memiliki kehendak bebas untuk melakukan niatnya mengeroyok korban, mereka melakukannya tanpa paksaan atau ancaman dari siapapun.

 

Di siang yang naas itu, perbuatan mereka terpicu oleh rasa ketersinggungan akibat perkataan korban yang menjadi pemicu para pelaku kemudian menganiaya korban secara bersama-sama. Namun ironisnya, setelah melakukan penganiayaan, pelaku yang belum cukup umur ini malah melakukan unggahan di beberapa sosial media yang tujuannya mungkin sekedar menarik perhatian teman-temannya atau mencari eksistensi.

 

Perbuatan mereka ini justru menunjukkan bahwa para pelaku sebenarnya kurang mampu memaknai akibat perbuatannya, belum mampu menginsyafi bahwa penganiayaan yang mereka lakukan dianggap tercela oleh masyarakat dan tak memahami konsekuensi hukum yang akan dihadapi kelak. Kenyataan inilah yang menunjukkan bahwa para pelaku belum dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya secara penuh, sebagaimana layaknya orang dewasa. Situasi tersebut menggambarkan betapa mental dan kondisi kejiwaan pelaku belum matang dikarenakan usianya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait