Problematik Eksekusi Putusan Terpidana Korupsi
Fokus

Problematik Eksekusi Putusan Terpidana Korupsi

Penerbitan SEMA jangka waktu minutasi putusan harus dibarengi dengan kesiapan SDM di MA.

ASh
Bacaan 2 Menit

Kebijakan serupa tak hanya datang dari MA. Juru Bicara MA Topane Gayus Lumbuun menegaskan Jaksa Agung MA Rachman (2004) pernah mengeluarkan surat edaran yang intinya eksekusi dapat dilakukan hanya dengan pemberitahuan petikan putusan. Gayus mengakui bahwa proses minutasi (pengetikan) putusan membutuhkan waktu lama. MA sendiri telah berupaya mengatasi persoalan ini termasuk menggunakan jasa pihak ketiga untuk mempercepat proses pengetikan salinan putusan.

“MA sudah berusaha keras untuk itu (membuat salinan secara cepat). Sampai-sampai MA menggunakan tenaga outsourcing yang profesional karena tak boleh salah ketik atau salah kata, mencantumkan dalam salinan lengkap itu. MA menyadari dan berusaha keras,” kata Gayus.

Mengacu SEMA No. 1 Tahun 2011 tentang Perubahan SEMA No. 2 Tahun 2010 tentang Penyampaian Salinan Putusan dan Petikan Putusan, petikan putusan perkara pidana diberikan kepada terdakwa, penuntut umum, dan rumah tahanan atau lembaga pemasyarakatan segera setelah putusan diucapkan.

Namun, angka 2 SEMA ini menyebutkan untuk perkara pidana pengadilan wajib menyampaikan salinan putusan dalam jangka waktu paling lambat 14 hari kerja sejak putusan diucapkan kepada terdakwa/penasihat hukumnya, penuntut umum, kecuali untuk perkara cepat diselesaikan menurut sesuai ketentuan KUHAP. Hal ini juga termuat dalam Paket UU Bidang Peradilan, seperti pasal 52A ayat (2) UU No 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum.

Perlu SEMA

Persoalan lambannya kejaksaan mengeksekusi terpidana korupsi sebenarnya terletak pada sistim administrasi minutasi putusan yang berlaku di MA. Hal itu disebabkan ketiadaan aturan jangka waktu penyelesaian minutasi putusan, khususnya minutasi putusan di tingkat kasasi atau peninjauan kembali (PK).

Persoalan ini hendaknya tidak boleh dianggap remeh dan perlu disikapi serius oleh MA. Sebab, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat ada sekitar 48 terpidana korupsi belum dieksekusi Kejaksaan. Dari jumlah itu, 25 terpidana korupsi telah melarikan diri. Sisanya, masih melenggang bebas lantaran eksekusi belum bisa dilaksanakan.

Karena itu pula ICW mendorong Kejaksaan Agung dan MA untuk merumuskan kebijakan percepatan eksekusi para terpidana korupsi. Sebab, lambannya eksekusi menjadi celah pada terpidana korupsi melarikan diri.“Karena memang problem-nya bukan hanya di Kejaksaan, tapi juga di pengadilan yang lambat menyerahkan salinan putusan ke Kejaksaan,” ujar Wakil Koordinator ICW Emerson Yuntho.

Tags: