Praperadilan, SP3, dan Egoisme Sektoral Aparat Hukum
Fokus

Praperadilan, SP3, dan Egoisme Sektoral Aparat Hukum

Sejumlah kasus yang menarik perhatian publik berakhir dengan penghentian penyidikan. Sering disebabkan perbedaan cara pandang penyidik dengan jaksa penuntut.

Rfq/Mys
Bacaan 2 Menit

 

Ada empat unsur tindak pidana yang harus diperjelas PPNS Ditjen Pajak. Unsur setiap orang  misalnya. Berdasarkan penyidikan, ada perbedaan tanda tangan SPT 2003-2004 meskipun yang tanda tangan orang yang sama. Unsur dengan sengaja mengharuskan penyidin PPNS Ditjen Pajak menggali will en wetten pada diri si pelaku. Dengan kata lain, pelaku secara sengaja dan sadar atas apa yang ia lakukan. Unsur menyampaikan pemberitahuan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, dimana dalam berkas perkara tidak terungkap perhitungan yang harus dimuat dalam SPT dan menguraikan metodologi perhitungan. Terakhir, unsur sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara. PPNS harus memperjelas berapa nilai kerugian pada pendapatan negara .

 

Gara-gara tidak memenuhi syarat, Kejaksaan akhirnya mengembalikan berkas ke penyidik. Modus yang sama bukan hanya terjadi pada kasus Asian Agri. Tengok saja kasus terakhir penyidikan lumpur Lapindo atau penyidikan illegal logging di Riau. Kedua kasus yang disebut terakhir berakhir dengan SP3.

 

Berdasarkan KUHAP, Penyidik memang berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan. Sebaliknya, pihak yang berkepentingan juga dapat mengajukan praperadilan atas SP3 tersebut. Pasal 77 KUHAP tegas merumuskan Pengadilan Negeri berwenang memeriksa dan memutus tentang (a) sah tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; dan (b) ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

 

Praperadilan yang diajukan MAKI, atau lembaga lain seperti ICW, bisa jadi memotret kesadaran hukum masyarakat. Ada kelompok masyarakat yang kritis terhadap kebijakan dan keputusan yang diambil aparat penegak hukum. Biarkanlah pengadilan yang menguji validitas dan legalitas kebijakan tersebut.

 

Yang ironis adalah jika SP3 atas kasus tertentu diambil hanya karena ego sektoral. Penyidik merasa sudah cukup melakukan proses verbal, sementara jaksa merasa belum cukup. Sudah cukup banyak contoh kasus yang berkasnya bolak balik antara penyidik dan jaksa. Sampai akhirnya muncul pemikiran bahwa penyidik bukanlah subordinasi dari jaksa. Pada saat revisi KUHAP berlangsung di Departemen Hukum dan HAM, sejumlah penyidik mengajukan protes kepada tim revisi hanya karena ada rumusan yang mengharuskan penyidik berkoordinasi dengan jaksa. Rumusan itu ditafsirkan bahwa penyidik lebih rendah dari jaksa.

 

Dalam kasus illegal logging di Riau, latar belakang SP3 lebih disebabkan perbedaan pandangan penyidik dan jaksa soal kehadiran ahli. Penyidik menganggap bahwa dalam kasus illegal logging pegawai Departemen Kehutanan tidak layak dijadikan sebagai ahli karena berasal dari instansi yang mengeluarkan izin HPH, misalnya. Sebaliknya, jaksa menganggap yang lebih tahu masalah illegal logging justru pegawai Departemen Kehutanan, bukan akademisi. Penyidik dan jaksa akhirnya tidak mencapai kata sepakat, sehingga penyidik menggunakan kewenangannya mengeluarkan SP3.

 

Lalu, apakah kasus pajak Asian Agri akan bernasib sama dengan kasus lain, hanya waktu yang akan membuktikan.

 

Tags: