Praperadilan, SP3, dan Egoisme Sektoral Aparat Hukum
Fokus

Praperadilan, SP3, dan Egoisme Sektoral Aparat Hukum

Sejumlah kasus yang menarik perhatian publik berakhir dengan penghentian penyidikan. Sering disebabkan perbedaan cara pandang penyidik dengan jaksa penuntut.

Rfq/Mys
Bacaan 2 Menit

 

Kekhawatiran itulah yang mendorong MAKI melayangkan permohonan praperadilan terhadap PPNS Ditjen Pajak ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Tetapi, pada 11 Agustus lalu, hakim Sudarwin mengandaskan permohonan MAKI. Putusan hakim memang cukup berdasar karena sesuai penjelasan PPNS Ditjen Pajak, perkara Asian Agri masih terus disidik alias belum dihentikan. Sejak disidik Mei 2007 hingga pelimpahan 22 Juli 2009, penyidik masih terus berkutat melengkapi berkas.

 

Boyamin tak terlalu kecewa mendengar putusan hakim. Ia malah lega karena ternyata perkara Asian Agri masih terus disidik. Yang menjadi persoalan sekarang adalah bagaimana mendorong agar proses penyidikan bisa dilakukan dengan cepat dan menyamakan persepsi antara penyidik dan jaksa penuntut. Apalagi secara jelas hakim Sudarwin memerintahkan Ditjen Pajak untuk segera memproses kasus itu dengan lebih cepat. Termohon harus secepatnya menyelesaikan perkara penggelapan pajak demi keadilan masyarakat, tegas sang hakim.

 

Pada bagian lain pertimbangannya, hakim memuji langkah MAKI. Langkah MAKI membuktikan ada kelompok masyarakat yang peduli pada penegakan hukum dan penanganan kasus tertentu. Tidak mengherankan, Boyamin menyatakan kepuasannya terhadap putusan praperadilan.

 

Perintah hakim sudah jelas, agar proses penyidikan kasus pajak Asian Agri dipercepat. Tetapi di lapangan tidak bisa seperti membalik telapak tangan. Ditjen Pajak ogah disalahkan. Keterlambatan penanganan perkara akhirnya menunjuk Kejaksaan Agung. Tetapi, korps adhyaksa pun bersikap sama. Penanganan berkas perkara dugaan penggelapan pajak Asian Agri Group belum dapat digolongkan terjadi bolak balik perkara, kata M. Jasman Panjaitan.

 

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung itu menegaskan Kejaksaan harus berhati-hati sebelum perkara dilimpahkan ke meja hijau. Kalau proses penyidikan dilakukan asal-asalan, selaku penuntut jaksa khawatir para terdakwa kelak dibebaskan hakim.  Apalagi, Asian Agri tidak tinggal diam. Tahun lalu, perusahaan ini pernah melayangkan permohonan praperadilan terhadap penyidik dan menang. PPNS terpaksa menyerahkan dokumen-dokumen yang sudah terlanjut disita. Proses penyitaan dokumen harus mulai dari nol lagi.  

 

Belum penuhi syarat

Berdasarkan penilaian jaksa, berkas Asian Agri belum memenuhi syarat formil dan materiil untuk dilimpahkan ke pengadilan. Kelemahan itu juga terungkap saat gelar perkara bersama Kejaksaan dan Ditjen Pajak pada 3 April lalu. Dari sekitar 10 tersangka, Kejaksaan sepakat untuk mempercepat penanganan dua berkas tersangka, yakni atas nama W. Tamba dan G. Bun Sen. Sesuai keterangan Jasman, kedua perkara inilah yang akan dijadikan semacam contoh untuk melanjutkan berkas tersangka lainnya.

 

Rupanya, perjalanan berkas Tamba dan Bun Sen pun tak berjalan mulus. Kejaksaan menilai rumusan dalam berkas perkara belum memenuhi unsur pasal yang disangkakan, yaitu Pasal 39 ayat (1) huruf c jo Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Undang-Undang Perpajakan ini sendiri sudah dua kali mengalami perubahan, terakhir dengan UU No. 28 Tahun 2007. Bahwa ada kesamaan pandang antara penyidik dan jaksa masih sebatas adanya perbuatan pidana dalam kasus tersebut. Namun soal siapa melakukan apa, itulah yang harus diperjelas. Untuk menghindari error in persona atau menghindari putusan bebas apabila perkara tersebut dilimpahkan ke pengadilan, ujar Jasman.

Halaman Selanjutnya:
Tags: