‘Politik Hukum Kita Tak Memihak Rakyat Miskin'
Sepuluh Tahun BLBI

‘Politik Hukum Kita Tak Memihak Rakyat Miskin'

Masyarakat menunggu pemimpin yang serius memberantas korupsi. Penanganan korupsi masih dirasa pilih-pilih.

Ycb
Bacaan 2 Menit
‘Politik Hukum Kita Tak Memihak Rakyat Miskin'
Hukumonline

 

Kisah itu boleh jadi hanya kenangan satu darsawarsa silam. Namun, Hingga kini pelakunya belum tersentuh, tutur Patra dengan nada gemas. Konglomerat hitam itu mampu berkelit dari jerat hukum karena mampu menyewa pengacara mahal, Yang ironisnya, alumni LBH sendiri, sambung Patra kecut.

 

Patra membandingkan, begitu susah rakyat miskin mengakses pendidikan atau pengobatan gratis. Bahkan rakyat terkesan dipersulit memperoleh pelayanan publik. Padahal rakyat punya justisiabilitas. Yaitu hak atas ekonomi, sosial, budaya, serta politik bagi rakyat tak mampu.

 

Patra mengungkapkan, hingga kini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) belum juga meneken Peraturan Pemerintah (PP) tentang bantuan hukum cuma-cuma kepada masyarakat miskin. Kondisi seperti ini sangat mengusik rasa keadilan.

 

Patra mengakui, SBY saat ini mampu membangun citra keberhasilan memukul korupsi lewat sepak terjang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tapi, Patra masih belum puas. Kalau yang disentuh kasus pengadaan atau belanja barang (procurement), itu sih mudah. Tapi hingga kini tak satu pun SBY mengulik pelaku BLBI. KPK hanya mau main aman.

 

Sukardi menambahkan, dari sekian pelaku dugaan korupsi, terdapat 98 orang kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Baik dari direktur jenderal (dirjen) di sejumlah departemen, maupun bupati/walikota dan anggota DPRD, ujar Sukardi.

 

PDIP merupakan partai pimpinan presiden sebelumnya, Megawati Sukarnoputri. Mega kalah bersaing dengan SBY dalam Pemilu 2004. Di masa kepemimpinan SBY, Megawati gencar mengritik langkah sang presiden.

 

Sukardi khawatir, jika penangkapan tersangka korupsi hanya seputar golongan politik tertentu belaka, Akan jadi bumerang bagi SBY. Masyarakat melihat kesan tebang pilih dan tidak adil.

 

Faisal memberi peringatan. Jika SBY serius pukul rata memberantas korupsi, Dia harus depak Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin dan Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra serta menteri-menteri yang merugikan negara. Bila SBY tak berani mengusik pos tersebut, Lupakan saja SBY, sambung Faisal.

 

Bisa Bentuk Panja

Sementara itu, Ketua Fraksi Partai Demokrat Syarief Hasan menilai baik SBY maupun parlemen serius ingin mengusut dana BLBI. Partai Demokrat sendiri adalah partai yang didirikan SBY. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) saat ini meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengaudit ulang BLBI, tukas Syarief.

 

Uniknya, anggota parlemen dari kamar lain belum puas. Seharusnya DPR bisa menggunakan haknya seperti hak angket atau hak interpelasi untuk mendesak Presiden SBY, ungkap anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Provinsi DKI, Marwan Batubara.

 

Menanggapi tantangan Marwan, Syarief menilai hak interpelasi kurang tepat. Menurutnya, interpelasi untuk meminta keterangan atas langkah atau kebijakan yang terlanjur diambil pemerintah.

 

Syarief mengusulkan dibentuk panitia kerja (Panja). DPR bisa menggunakan mekanisme panja yang dibentuk oleh komisi terkait. Dalam hal ini, adalah Komisi XI yang membidangi keuangan negara dan perbankan. Syarief mencontohkan Panja BNI. Panja ini mengusut masalah L/C fiktif yang dikeluarkan oleh bank pelat merah tersebut.

 

Yang jelas, rakyat sudah tak sabar melihat bukti, bukan janji. Atau, jangan-jangan tersendatnya kasus BLBI ini lantaran dagangan politik menjelang Pemilu 2009? Bisa jadi begitu, tutur Faisal dengan dahi berkerut. Nah, loh...

 

Politik hukum kita masih belum memihak wong cilik, teriak Patra M. Zen, Ketua Badan Pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Patra menyampaikannya dalam forum diskusi tentang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) di Hotel Sultan, Jumat (4/5).

 

Patra benar-benar kecewa pengusutan BLBI belum tuntas hingga kini. Menurut Patra, pengucuran BLBI jelas-jelas kental beraroma korupsi. Indonesia telah meratifikasi Konvensi PBB Anti Korupsi (United Nations Convention Against Corruption). Dalam konvensi tersebut, jual-beli dan penyalahgunaan pengaruh  (trading or abuse of influence) masuk dalam kategori korupsi.

 

BLBI merupakan bantuan dari BI kepada 48 bank agar mampu menggerakkan perekonomian. Yang memerintahkan pengucuran BLBI kala itu adalah Presiden Suharto. Ketika mewawancarai beliau untuk penulisan buku, Pak Harto beralasan langkah apapun akan diambil untuk membangkitkan ekonomi, kenang Sukardi Rinakit, Direktur Eksekutif lembaga riset sosial-politik Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS).

 

Celakanya, triliunan dana yang tersalur ke perbankan, justru mengalir ke perusahaan-perusahaan konglomerat. Bank menyalurkan kredit kepada korporasi memang wajar. Masalahnya, bank tersebut juga milik konglomerat. Walhasil, dana perbankan dari bank sentral itu hanya akal-akalan pemodal mendanai usahanya sendiri.

 

Saat itu banyak bank yang menabrak batas maksimum pemberian kredit (BMPK, legal lending limit), ungkap ekonom Faisal Basri. BMPK merupakan patokan maksimal pengucuran kredit kepada perusahaan yang masih satu grup (holding) dengan bank yang bersangkutan. Faisal menceritakan kala itu BMPK perbankan yang memanen BLBI mencapai 80 persen. Karena itulah, perekonomian Indonesia sempat runtuh digoncang gempa krisis ekonomi pada 1997-1998. Sedihnya, konglomerat yang bergelimang bantuan pemerintah itu pada ngacir keluar negeri.

Halaman Selanjutnya:
Tags: