Hakim memutus perkara, Jaksa menuntut dengan dakwaan, dan Polisi yang memeriksa awal mula suatu peristiwa tindak pidana. Tiga lembaga ini penentu proses hulu hingga hilir suatu sistem peradilan pidana. Mengutip perkataan Topo Santoso, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia, “Putusan pidana yang bermasalah mungkin karena dakwaan yang salah, lalu dakwaan yang salah mungkin disebabkan penyidikan yang salah.”
Polisi dan Jaksa berperan penting membawa perkara ke hadapan Hakim di pengadilan. Keduanya sama-sama bertanggung jawab menangani dan mengendalikan terjadinya kejahatan di masyarakat. Keberhasilan penanganan tindak pidana sangat bergantung pada efektivitas kerja kedua lembaga ini.
Namun, kerap kali terdengar keduanya tidak harmonis dalam menangani perkara pidana. Berkas penyidikan dari Polisi tak kunjung diberi jawaban dengan formulir P-21 yang menyatakan sudah lengkap. Formulir P-19 dari Jaksa yang isinya meminta berkas perkara dilengkapi bisa jadi menunjukkan keraguan Jaksa atas kerja Polisi. Tentu saja Jaksa boleh melakukannya karena memang wewenangnya. Masalahnya adu ping-pong berkas perkara ini menghambat proses peradilan pidana yang cepat dan efektif. Tidak ada gunanya mendebat siapa yang salah. Akar persoalannya yang harus dicarikan solusi.
Romli Atmasasmita, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjajaran, mengatakan akar persoalan ada pada desain sistem peradilan pidana Indonesia itu sendiri. “Masalahnya karena memang undang-undang membuatnya demikian. Masing-masing sifatnya mandiri,” kata Romli.