Polemik Penanganan Kasus Korupsi Basarnas, Peradilan Umum atau Militer?
Kolom

Polemik Penanganan Kasus Korupsi Basarnas, Peradilan Umum atau Militer?

UU Peradilan Militer sudah mengatur pembentukan tim koneksitas terlebih dahulu sepanjang ditemukan perkara yang melibatkan sipil dan militer. KUHAP pun memandatkan pembentukan tim koneksitas pada tahap pra penuntutan/penuntutan menyertakan kegiatan penelitian bersama.

Bacaan 6 Menit

Menhankam kemudian mengeluarkan keputusan yang isinya, menetapkan perkara pidana tersebut diadili peradilan militer. Surat keputusan tersebut dijadikan dasar bahwa penanganan perkara diserahkan kepada mahkamah militer atau mahkamah militer tinggi. Kemudian, berita acara pemeriksaan yang dibuat Tim Koneksitas harus dibubuhi catatan oleh Oditur Militer atau Oditur Militer Tinggi yang mengajukan perkara. Intinya, berita acara tersebut telah diambil alih olehnya sebagaimana tertuang dalam Pasal 92 ayat (2) KUHAP.

Posisi Jaksa Agung dalam Penanganan Perkara Koneksitas

Mengacu buku berjudul “Membedah Undang-Undang Kejaksaan”, kedudukan penting Jaksa Agung tidak terlepas dari penerapan prinsip Single Prosecution System. Dengan pemaknaan Jaksa adalah satu dan tidak terpisah-pisahkan atau een en ondelbaar, bertujuan menciptakan kesatuan kebijakan penuntutan di bawah Jaksa Agung sebagai penuntut umum tertinggi.

Pentingnya prinsip di atas secara implementatif semakin terlihat urgensinya apabila mengaitkannya dengan ketentuan Pasal 93 KUHAP. Ayat (1) menyebutkan, “Apabila dalam penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (1) terdapat perbedaan pendapat antara penuntut umum dan oditur militer atau oditur militer tinggi, mereka masing-masing melaporkan tentang perbedaan pendapat itu secara tertulis, dengan disertai berkas perkara yang bersangkutan melalui jaksa tinggi kepada Jaksa Agung dan kepada Oditur Jenderal Angkatan Bersenjata Republik Indonesia”.

Sedangkan ayat (2) menyebutkan, “Jaksa Agung dan Oditur Jenderal Angkatan Bersenjata Republik Indonesia bermusyawarah untuk mengambil keputusan guna mengakhiri perbedaan pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)”. Kemudian ayat (3) menyebutkan, “Dalam hal terjadi perbedaan pendapat antara Jaksa Agung dan Oditur Jenderal Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, pendapat Jaksa Agung yang menentukan”.

Hukumonline.com

Rumusan norma Pasal 93 ayat (1) KUHAP sudah mengindikasikan kemungkinan adanya perbedaan pendapat antara Penuntut Umum dan Oditurat, sehingga Jaksa Agung dan Oditur Angkatan Bersenjata oleh KUHAP diberikan peran untuk menuntaskan perbedaan pendapat tersebut melalui forum ‘Musyawarah’ sebagaimana diatur dalam Pasal 93 ayat (2).

Namun yang mengesankan justru tertuang dalam Pasal 93 ayat (3). Sepanjang masih terdapat perbedaan pendapat antara keduanya (Jaksa Agung dan Oditur Jenderal Angkatan Bersenjata), maka pendapat Jaksa Agung yang menentukan. Besarnya peran Jaksa Agung menjadi penegasan prinsip Single Prosecution System yang bertujuan untuk menghindari disparitas penuntutan. Mulai dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi, termasuk tindak pidana dalam lingkup peradilan militer.

Khusus mengenai penerapan prinsip tersebut dalam lingkup peradilan militer telah tercantum dalam penjelasan Pasal 57 ayat (1) UU Peradilan Militer yang menyebutkan, “Oditur Jenderal dalam melaksanakan tugas di bidang teknis penuntutan bertanggung jawab kepada Jaksa Agung Republik Indonesia selaku penuntut umum tertinggi di Negara Republik Indonesia melalui Panglima, sedangkan dalam pelaksanaan tugas pembinaan Oditurat bertanggung jawab kepada Panglima”.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait