Polemik Jerat Pidana bagi Penolak Vaksinasi Covid-19
Utama

Polemik Jerat Pidana bagi Penolak Vaksinasi Covid-19

Tafsir memperluas Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan dianggap berlebihan dan tidak memenuhi asas legalitas.

Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit

Dengan begitu, menurutnya tafsir Wamenkumham bagi yang menolak disuntiik vaksin Covid-19 bisa dijerat Pasal 93 UU 6/2018 berlebihan dan keliru. “Itu tafsir lebay. Ini menurut saya tidak relevan. Karena kita hanya (penetapan, red) PSBB. Demikian pula kedaruratan itu terjadi bukan karena satu dua orang, melainkan situasi pandemi kedaruratan yang menyeluruh,” ujarnya.

Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia (FH UAI) Suparji Achmad punya pandangan senada. Dia menilai tindakan yang dilarang dalam Pasal 93 UU 6/2018 yakni perbuatan yang tidak mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan; menghalang-halangi kekarantinaan kesehatan yang menimbulkan dampak kedaruratan kesehatan.

“Yang menjadi kewajiban adalah mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan sesuai Pasal 9 ayat (1) UU 6/2018,” kata Suparji.

Dia menilai tafsir Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan dapat menjerat pidana bagi warga negara yang menolak vaksin menggunakan tafsir meluas (ekstensif) yang tidak tepat dan tidak memenuhi asas legalitas. Dia merujuk Pasal 1 angka 1 UU 6/2018 yang menyebutkan, “Kekarantinaan Kesehatan adalah upaya mencegah dan menangkal keluar atau masuknya penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat.”

Sukarela

Dengan begitu, menurut Suparji, vaksinasi Covid-19 yang sudah dimulai oleh pemerintah bersifat sukarela. Sebab, bila menggunakan UU 6/2018 yang menjadi kewajiban setiap warga negara adalah mematuhi kegiatan kekarantinaan kesehatan, bukan kewajiban vaksinasi Covid-19. “Dalam UU 6/2018 tidak terdapat norma yang mengatur vaksin. Karenanya, vaksin menjadi sukarela bagi masyarakat untuk pencegahan virus. Sedangkan vaksinasi tidak ada norma UU yang mewajibkan,” tegasnya.

Fickar pun berpendapat pilihan pencegahan dan pengobatan penyakit merupakan hak seseorang sebagaimana diatur UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Pasal 5 ayat (3) UU Kesehatan menyebutkan, “Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan bagi dirinya.”

“Ini hak pilihan seseorang untuk memilih cara pengobatan termasuk menggunakan vaksin atau tidak. Jadi, tidak tepat bila vaksinasi menjadi kewajiban yang bersifat paksaan."

Menurut Fickar, vaksinasi hakikatnya ikhtiar manusia mencegah penularan wabah Covid-19 yang patut diapresiasi. Karena itu, seharusnya pendekatannya tidak menggunakan instrumen hukuman pidana denda/penjara, tetapi persuasif. 

Suparji menambahkan pemerintah semestinya berupaya bagaimana cara menumbuhkan kesadaran masyarakat agar bersedia divaksinasi Covid-19 secara sukarela. “Masyarakat jangan ditakut-takuti. Jangan ditambahi beban dengan ancaman (pidana, red) baru, tetapi bangun optimisme masyarakat dengan cara persuasif dan otentik terkait efektivitas vaksinasi ini,” katanya.

Tags:

Berita Terkait