Polemik Jerat Pidana bagi Penolak Vaksinasi Covid-19
Utama

Polemik Jerat Pidana bagi Penolak Vaksinasi Covid-19

Tafsir memperluas Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan dianggap berlebihan dan tidak memenuhi asas legalitas.

Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit
Foto: RES
Foto: RES

“Saya pertama yang bilang, saya menolak vaksin, saya tetap tidak mau divaksin”. Kalimat pendek itu meluncur dari bibir anggota Komisi IX DPR Ribka Tjiptaning saat menggelar rapat kerja dengan Menteri Kesehatan, Selasa (12/1/2021) kemarin. Pernyataan anggota DPR ini menjadi “buah bibir” karena bertolak belakang dengan program pemerintah soal vaksinasi Covid-19 merek Sinovac bagi seluruh masyarakat yang dimulai sejak Rabu (13/1/2021) kemarin. Padahal, vaksin Covid-19 Sinovac sendiri sudah mengantongi izin Emergency Use Autorization (EUA) dari BPOM (efikasi 65,3 persen) dan sertifikat halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).   

Tapi, Ribka lebih memilih membayar denda sebesar Rp5 juta ketimbang disuntik vaksin impor itu. Bagi Ribka, tak boleh ada pemaksaan untuk vaksinasi (disuntik vaksin Covid-19, red) terhadap warga negara. Menurutnya, pemaksaan terhadap warga negara untuk divaksinasi sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini memberi contoh penyuntikan vaksin antipolio di Sukabumi. Faktanya, malah lumpuh layu setelah divaksin antipolio itu.

Memang pengaturan denda bagi warga yang menolak disuntik vaksin Covid-19 hanya diatur dalam Pasal 30 Peraturan Daerah (Perda) DKI Jakarta No.2 Tahun 2020 Penanggulangan Covid-19. Pasal 30 menyebutkan, “Setiap orang yang dengan sengaja menolak untuk dilakukan pengobatan dan/atau vaksinasi Covid-19, dipidana dengan pidana denda paling banyak sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah)”. Tak heran, Pasal 30 Perda DKI Jakarta itu tengah “digugat” ke Mahkamah Agung (MA).

Sementara pengaturan pidana denda bagi warga yang menolak vaksinasi Covid-19 di provinsi lain tidak seragam. Dalam sebuah pemberitaan, Dinas Kesehatan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (Pemprov DIY) memastikan tidak akan ada sanksi bagi warga (khususnya warga DIY, red) yang menolak vaksinasi Covid-19 seperti provinsi lain. (Baca Juga: Pidana Denda bagi Penolak Vaksinasi Harusnya Diatur Level UU)

Hal ini dipertegaskan pernyataan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X yang mengajak warganya dengan kesadaran mengikuti program vaksinasi Covid-19 tanpa disertai pemberian sanksi bagi penolaknya. "Mungkin agak berbeda dengan daerah lain, dengan kepercayaan kearifan lokal masyarakat DIY, tidak akan dilakukan sanksi," kata Sultan HB X saat memberikan sambutan dalam Vaksinasi Covid-19 perdana di DIY di Bangsal Kepatihan, Yogyakarta, Kamis (14/1/2021) seperti dikutip Antara.

Sultan meyakini seluruh lapisan masyarakat di DIY pada gilirannya nanti dengan penuh kesadaran akan siap untuk divaksinasi, khususnya yang berusia 18 sampai 59 tahun. Untuk lanjut usia (lansia) akan diberikan setelah datangnya vaksin yang aman. Ia berharap seluruh masyarakat dapat menjadi subjek menangkal penyebaran Covid-19. "Secara sadar untuk saling membantu dan menjaga, sehingga tercipta imunitas di masyarakat (herd immunity) guna menangkal penyebaran virus Covid-19," kata dia.

Lantas, bagaimana sebenarnya pengaturan sanksi pidana terhadap warga yang menolak vaksinasi Covid-19 ini?

Sebelumnya, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Prof Edward Oemar Sharif Hiariej menganggap ada sanksi bagi warga yang menolak vaksinasi Covid-19. Sebab, vaksinasi Covid-19 merupakan kewajiban di tengah situasi wabah penyakit menular, seperti pandemi Covid-19. Sanksi yang dimaksud merujuk pada Pasal 9 jo Pasal 93 UU No.6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Pasal 9 ayat (1) UU Kekarantinaan Kesehatan menyebutkan, “Setiap Orang wajib mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan”. Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan menyebutkan, “Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan, sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)”.

Dia menilai Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan merupakan pasal “sapujagat” yang bersifat karet dan pasal keranjang sampah. Menurutnya, Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan dapat dikatakan sebagai pidana administratif. Bagi siapapun yang tidak mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan sesuai Pasal 9 ayat (1) dapat dijerat dengan Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan.

Menurutnya, Pasal 9 ayat (1) UU Kekarantinaan Kesehatan berkaitan dengan penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Karena itu, terdapat kewajiban bagi setiap warga negara untuk mematuhi berbagai peraturan perundang-undangan terkait kekarantinaan kesehatan. “Ketika kita menyatakan vaksin itu kewajiban, secara mutatis mutandis jika ada warga yang tidak mau divaksin bisa dikenakan sanksi pidana, bisa didenda atau penjara, atau bisa dua-duanya. Jadi bahasa (penafsirannya, red) amat sangat luas, itu kita istilahkan pasal karet,” ujarnya dalam sebuah webinar, Sabtu (9/1/2021) kemarin.

Meski rumusan norma tersebut sedemikian mudah menjerat pelanggaran kekarantinaan kesehatan, namun hukum pidana itu bersifat ultimum remedium (upaya terakhir). Artinya hukum pidana digunakan sebagai sarana penegakan hukum yang terakhir (setelah upaya lain sudah dilakukan). “Jelas ada sanksi. Tapi sedapat mungkin pidana itu jalan (upaya, red) terakhir,” katanya.

Tafsir berlebihan

Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menilai tafsir Wamenkumham sangat berlebihan. Dia beralasan penerapan sanksi pidana dalam UU 6/2018 bila memenuhi dalam kondisi. Pertama, bila pilihan keputusan pemerintah menyatakan karantina wilayah, bukan PSBB. Kedua, tindakan yang dapat dikriminalisasi atau dipidana antara lain keluar masuknya wilayah karantina tanpa izin. Ketiga, subjeknya adalah para supir, nahkoda, dan pilot.

“Begitu pula bagi orang per orang yang tidak mematuhi atau menghalang-halangi penyelenggaraan karantina dan menyebabkan kedaruratan dengan adanya unsur perlawanan terhadap kebijakan karantina,” kata Abdul Fickar Hadjar saat dihubungi Hukumonline, Kamis (14/1/2021).   

Dengan begitu, menurutnya tafsir Wamenkumham bagi yang menolak disuntiik vaksin Covid-19 bisa dijerat Pasal 93 UU 6/2018 berlebihan dan keliru. “Itu tafsir lebay. Ini menurut saya tidak relevan. Karena kita hanya (penetapan, red) PSBB. Demikian pula kedaruratan itu terjadi bukan karena satu dua orang, melainkan situasi pandemi kedaruratan yang menyeluruh,” ujarnya.

Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia (FH UAI) Suparji Achmad punya pandangan senada. Dia menilai tindakan yang dilarang dalam Pasal 93 UU 6/2018 yakni perbuatan yang tidak mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan; menghalang-halangi kekarantinaan kesehatan yang menimbulkan dampak kedaruratan kesehatan.

“Yang menjadi kewajiban adalah mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan sesuai Pasal 9 ayat (1) UU 6/2018,” kata Suparji.

Dia menilai tafsir Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan dapat menjerat pidana bagi warga negara yang menolak vaksin menggunakan tafsir meluas (ekstensif) yang tidak tepat dan tidak memenuhi asas legalitas. Dia merujuk Pasal 1 angka 1 UU 6/2018 yang menyebutkan, “Kekarantinaan Kesehatan adalah upaya mencegah dan menangkal keluar atau masuknya penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat.”

Sukarela

Dengan begitu, menurut Suparji, vaksinasi Covid-19 yang sudah dimulai oleh pemerintah bersifat sukarela. Sebab, bila menggunakan UU 6/2018 yang menjadi kewajiban setiap warga negara adalah mematuhi kegiatan kekarantinaan kesehatan, bukan kewajiban vaksinasi Covid-19. “Dalam UU 6/2018 tidak terdapat norma yang mengatur vaksin. Karenanya, vaksin menjadi sukarela bagi masyarakat untuk pencegahan virus. Sedangkan vaksinasi tidak ada norma UU yang mewajibkan,” tegasnya.

Fickar pun berpendapat pilihan pencegahan dan pengobatan penyakit merupakan hak seseorang sebagaimana diatur UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Pasal 5 ayat (3) UU Kesehatan menyebutkan, “Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan bagi dirinya.”

“Ini hak pilihan seseorang untuk memilih cara pengobatan termasuk menggunakan vaksin atau tidak. Jadi, tidak tepat bila vaksinasi menjadi kewajiban yang bersifat paksaan."

Menurut Fickar, vaksinasi hakikatnya ikhtiar manusia mencegah penularan wabah Covid-19 yang patut diapresiasi. Karena itu, seharusnya pendekatannya tidak menggunakan instrumen hukuman pidana denda/penjara, tetapi persuasif. 

Suparji menambahkan pemerintah semestinya berupaya bagaimana cara menumbuhkan kesadaran masyarakat agar bersedia divaksinasi Covid-19 secara sukarela. “Masyarakat jangan ditakut-takuti. Jangan ditambahi beban dengan ancaman (pidana, red) baru, tetapi bangun optimisme masyarakat dengan cara persuasif dan otentik terkait efektivitas vaksinasi ini,” katanya.

Tags:

Berita Terkait