Dalam konteks pluralisme hukum, acapkali perempuan dirugikan dalam subsistem hukum. Peraturan perundang-undangan terus diperbaiki dengan mengakomodasi prinsip keadilan dan proporsionalitas. Tetapi, dalam praktik, sesungguhnya hakimlah yang paling menentukan sebagaimana dinamika yang terjadi selama ini. Hingga kini hakim tetap menjaga pluralisme hukum perdata, dengan tetap mengembangkan penemuan-penemuan hukum baru.
Hakim agung Nani Indrawati memberi contoh hak perempuan dalam lingkup hukum waris. Hakim menjaga pluralisme antara hukum perdata Barat, hukum Islam, hukum adat, dan praktik terbaik internasional. “Hakim tidak hanya dituntut agar dapat berlaku adil, tetapi juga harus mampu menafsirkan peraturan secara aktual sesuai kebutuhan dan perkembangan sosial,” paparnya dalam seminar nasional Hukum dan Budaya: Refleksi dan Kontekstualisasi Subsitem Budaya Terhadap Hukum Keperdataan Nasional, dalam rangka Dies Natalies ke-77 Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Melalui putusan, seorang hakim tidak hanya menerapkan hukum yang ada dalam teks undang-undang, tetapi juga melakukan pembaruan-pembaruan hukum terhadap masalah yang belum diatur dalam undang-undang, atau tidak jelas pengaturannya, atau perlu penafsiran sesuai perkembangan keadaan dan kebutuhan hidup masyarakat.
Dalam hukum waris, Ahmad Tholabi Kharlie memberikan contoh ketentuan Pasal 171 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Tanpa membedakan laki-laki atau perempuan, ahli waris didefinisikan sebagai orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris beragama Islam, dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. Ketentuan ini dianggap adil.