Plea Bargaining dan DPA 'Jalur Khusus' Selamatkan Aset Negara
Utama

Plea Bargaining dan DPA 'Jalur Khusus' Selamatkan Aset Negara

Terdapat batasan penggunaan plea bargaining. Pentingnya mengubah prosedur beracara atau pembuktian seiring dengan konsep plea bargain dan DPA yang ingin dipilih. Serta penguatan peran advokat di setiap tahapan peradilan.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 4 Menit

Seperti pengadilan dianggap akan terlalu berpihak kepada terdakwa. Kemudian, tidak dimungkinkan upaya hukum bagi terdakwa yang menyetujui plea guilty. Dia menjelaskan Deferred Prosecution Agreement (DPA) atau perjanjian penangguhan penuntutan yang merupakan negosiasi yang dilakukan jaksa dengan terdakwa atau pengacaranya, di mana terdakwa adalah korporasi.

Sebagai bentuk pengalihan penuntutan dari proses peradilan atau untuk menangani kesalahan korporasi melalui prosedur pemulihan administratif atau sipil. Kewajiban hukum bagi korporasi dalam DPA antara lain pengakuan atas pelanggaran yang dilakukan, pembayaran denda dan kompensasi, jangka waktu pembayaran denda kompensasi. Kemudian pelaksanaan program kepatuhan korporasi dan penertiban/pemecatan  pegawai tertentu.

Dia menjelaskan dasar pemikiran dari DPA adalah penyelesaian tindak pidana korporasi melalui alternatif lain di luar pengadilan, karena kejahatan korporasi merupakan kejahatan yang penyelesaiannya memakan tenaga, waktu dan biaya yang tinggi akibat pembuktian yang sulit.

“Agar korporasi dapat tetap berjalan dengan baik dan menghindari terjadinya penutupan korporasi akibat tindak pidana yang dilakukan, maka diperlukan mekanisme penyelesaian sengketa yang berbeda pula,” papar Febby.

Tantangan penerapan plea bargaining

Sementara, dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Fachrizal Afandi menjelaskan terdapat berbagai tantangan penerapan plea bargaining dan DPA di sistem peradilan Indonesia.  Dia menyampaikan lembaga penegak hukum dalam sistem peradilan pidana Indonesia pasca-orde baru masih memiliki masalah akuntabilitas dan transparansi yang rendah.

Kemudian, terdapat mekanisme kontrol yang lemah dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terhadap diskresi dan upaya paksa yang dimiliki oleh aparat. Tantangan lainnya soal lemahnya pengaturan terhadap akses kepada bantuan hukum kepada tersangka dan terdakwa akibat kualitas dan kuantitas advokat yang belum merata di Indonesia.

“Jaminan terhadap hak korban yang masih lemah dan ego sektoral antar aparat penegak hukum akibat tidak adanya Lembaga yang benar-benar menjadi dominus litis di tahapan penyidikan dan penuntutan,” ujarnya.

Tags:

Berita Terkait