PK oleh Jaksa dan Toko Buku Loakan
Jeda

PK oleh Jaksa dan Toko Buku Loakan

Si jaksa itu langsung “jump in” begitu menemukan dasar hukum pengajuan peninjauan kembali oleh jaksa di toko buku loakan.

Ali
Bacaan 2 Menit
PK oleh Jaksa dan Toko Buku Loakan
Hukumonline

Pengajuan peninjauan kembali oleh jaksa memang terus menimbulkan pro kontra hingga saat ini. Ada yang menolak, ada juga yang mendukung. Bagi yang kontra berlindung di Pasal 263 KUHAP bahwa yang berhak mengajukan PK adalah terpidana dan/atau ahli warisnya. Tak ada disebutkan jaksa bisa mengajukan PK.

 

Meski dalam prakteknya, banyak yang memprotes langkah jaksa ini, toh jaksa tetap terus mengajukan PK. Para jaksa menunjuk kasus Mochtar Pakpahan sebagai preseden dibolehkannya PK oleh jaksa. Mochtar yang dijerat delik penghasutan terhadap penguasa umum adalah orang pertama di Indonesia yang masuk penjara gara-gara PK oleh jaksa.

 

Tetapi tahukah anda bagaimana PK oleh jaksa itu berawal? Bagaimana proses lahirnya PK oleh jaksa itu? Advokat Senior Luhut Pangaribuan menceritakan asal muasal preseden yang sampai saat ini kontrovesial di dunia hukum Indonesia itu.  “Saya mau cerita pengakuan seorang jaksa –yang menangani kasus Mochtar-,” tuturnya dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan hukumonline, Kamis (25/3).

 

Luhut memang tak mau menyebutkan nama jaksa yang dimaksudnya. Namun, kejadiannya terjadi di Medan. Jaksa itu mengaku ditelepon oleh Jaksa Agung yang kala itu dijabat oleh Singgih.

 

“Apakah ngga bisa nih dimasukin penjara Mochtar Pakpahan. Begitu dialognya,” sebut Luhut. Jaksa itu tentu saja pusing tujuh keliling. Karena, Pasal 263 KUHAP secara jelas mengatakan yang berhak mengajukan PK adalah terpidana dan/atau ahli warisnya.

 

Ketentuan itu berbunyi Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.

 

Dalam keadaan pusing tujuh keliling itu, masih menurut penuturan Luhut, si jaksa berkeliling kota Medan. Ia mencari cara bagaimana untuk memuaskan permintaan atasannya itu. “Pada saat itu budaya hukumnya memberi service kepada atasan itu adalah prestasi terbaik,” tambahnya.

 

Setelah berputar-putar sekian lama, si jaksa mampir ke sebuah toko buku loakan di Medan. Kemudian, si jaksa menemukan UU No 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman (sekarang sudah diubah dengan UU No 48 Tahun 2009).

 

Si jaksa membaca salah satu pasal yang menyebutkan putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap dapat diajukan peninjauan kembali (PK) oleh ‘para pihak’. “Di situ memang disebutkan para pihak,” ujarnya. Luhut menuturkan si jaksa tiba-tiba tersentak. “Langsung dia jump in,” tuturnya.

 

Oh, para pihak itu –dalam kasus pidana- kan terdakwa dan jaksa. Jadi, si jaksa berkesimpulan jaksa bisa mengajukan PK. “Jadi boleh. Dari situ dia. Jadi, so simple,” ujar Luhut. Akhirnya, PK oleh jaksa itu diterima MA sehingga Mochtar pun masuk penjara. Praktek tersebut pun jadi preseden sampai sekarang. “Jadi, begitu sejarahnya,” tutup Luhut mengakhiri ceritanya.

 

Bertahun-tahun berselang. Kejadian serupa menimpa Pollycarpus, terpidana kasus pembunuhan aktivis hak asasi manusia (HAM) Munir. Polly tak terima dijebloskan ke bui gara-gara PK oleh jaksa. Ia pun mengajukan pengujian ketentuan UU Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan PK diajukan oleh para pihak ke Mahkamah Konsitusi (MK).

 

Judicial review ini akhirnya ditolak oleh MK. UU Kekuasaan Kehakiman mengatur bukan hanya perkara pidana, melainkan perdata. Bila ketentuan itu dihilangkan, tentu para pihak dalam perkara perdata akan terhalang untuk mengajukan PK.

 

Mantan Hakim Agung Henry Pangabean pernah mengutarakan bahwa kasus PK oleh jaksa dalam kasus Mochtar Pakpahan mendapat reaksi dari berbagai media massa. “Banyak pendapat yang tidak dapat menerima permohonan itu diajukan lagi oleh Pemerintah atau Kejaksaan,” sebut Henry dalam bukunya yang bertajuk ‘Fungsi Mahkamah Agung dalam praktek sehari-hari’.

 

Banyak pihak, lanjut Henry, yang menilai penegakan hukum dalam kasus ini bersifat represif karena pengadilan hanya dijadikan instrumen oleh pemerintah. Tak hanya itu, kasus Mochtar ini dianggap sebagai pengorbanan dari suatu sistem hukum yang tidak menghargai adanya putusan bebas seperti ditentukan oleh Pasal 263 KUHAP.

Tags: