Permohonan Pollycarpus Ditolak
Putusan MK:

Permohonan Pollycarpus Ditolak

Pengajuan PK dalam perkara pidana memang hanya terbatas oleh terpidana dan ahli waris. Permohonan ditolak karena Pollycarpus terkesan hanya mempersoalkan implementasi norma, bukan konstitusionalitas norma yang jadi kewenangan MK.

Ali
Bacaan 2 Menit
Permohonan Pollycarpus Ditolak
Hukumonline

 

Natabaya menjelaskan hakim yang memeriksa perkara pidana seharusnya tunduk kepada aturan yang bersifat khusus, yaitu KUHAP dibanding aturan yang bersifat umum seperti UU Kekuasaan Kehakiman. Dalam memeriksa dan memutus suatu perkara, hakim tidak dapat semata-mata mendasarkan diri pada aturan yang bersifat umum yang masih merupakan asas-asas, tuturnya.   

 

Namun, MK tak menyalahkan sepenuhnya MA yang menerima pengajuan PK oleh jaksa dalam perkara Polly. Hakim mempunyai kewenangan untuk secara independen melakukan penafsiran terhadap ketentuan undang-undang yang belum jelas, tegas Natabaya. Seandainya penafsiran hakim itu bertentangan dengan UUD 1945, maka itu hanya persoalan penerapan norma.

 

Dissenting Opinion

Bila pendapat mahkamah terdengar lebih lembut, dua hakim konstitusi bersuara lebih keras dalam dissenting opinion atau pendapat berbedanya. Dua Hakim Konstitusi itu adalah Harjono dan Mukthie Fadjar. Sebagai Ketua Sidang, menggantikan Jimly Asshiddiqie, Harjono memang harus membacakan konklusi dan amar putusan hasil rapat permusyawaratan hakim. Namun, sebagai pribadi, Harjono punya pendapat lain.

 

Harjono mengakui bahwa hakim memang dapat melakukan penafsiran terhadap undang-undang. Namun, lanjutnya, dalam ketentuan hukum acara pidana penafsiran hukum harus diterapkan secara terbatas. Ia menilai penafsiran dengan metode ekstensif atau diperluas terkait frase ‘pihak-pihak yang bersangkutan' sehingga memungkinkan jaksa mengajukan PK, melanggar hak asasi terpidana.

 

Adanya larangan penafsiran secara ekstensif dimaksudkan untuk melindungi hak-hak tersangka termasuk di dalamnya hak yang dijamin oleh konstitusi, ujar Harjono. Sehingga akan tercipta kepastian hukum.

 

Harjono menyadari bahwa kehadiran Pasal 23 ayat (1) ini memang untuk mengubah paradigma dalam hukum acara pidana yang terlalu berorientasi kepada terpidana (pelaku kriminal) ke paradigma baru yang menganut prinsip keseimbangan antara pelaku kriminal dan korban atau masyarakat. Di sidang sebelumnya, DPR memang menyatakan kehadiran Pasal itu untuk mengakomodir pengajuan PK oleh jaksa.

 

Namun, Harjono menilai langkah tersebut tidak tepat. Menurutnya, untuk melakukan perubahan bukan dengan membiarkan adanya norma hukum yang mengundang multitafsir. Melainkan harus melakukan perubahan dan harmonisasi berbagai undang-undang yang berkaitan dengan PK dalam perkara pidana, tuturnya.

 

Sementara itu, kuasa hukum Polly, Idrus Mony mengapresiasi dissenting opinion kedua hakim konstitusi ini. Tapi bagaimana pun juga putusan di MK itu kan tergantung sembilan hakim, ujarnya pasrah.

 

Permohonan pengujian Pasal 23 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman yang diajukan oleh terpidana pembunuhan Munir, Pollycarpus Budihari Priyanto, telah diputus. Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan menolak permohonan Polly yang mempersoalkan tafsiran pasal tersebut. Polly mempersoalkan karena pasal dimaksud menjadi pintu masuk bagi jaksa mengajukan peninjauan kembali (PK). Menyatakan permohonan pemohon ditolak, ujar Ketua Sidang Harjono di MK, Jumat (15/8).

 

Majelis berpandangan permohonan Polly itu menyangkut penerapan undang-undang, bukan terkait konstitusionalitas norma (UU). Padahal, kewenangan MK hanya sebatas mengadili konstitusionalitas norma, apa sebuah norma atau UU itu bertentangan konstitusi atau tidak.    

 

Sebagai catatan, permohonan yang diajukan Polly ini merupakan perdebatan hukum yang berlangsung sejak lama. Yaitu terkait boleh atau tidaknya jaksa mengajukan PK. Dalam KUHAP, Pasal 263 ayat (1) menyatakan bahwa yang boleh mengajukan PK hanya terpidana dan ahli warisnya. Namun, Pasal 23 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman menyatakan PK bisa diajukan oleh ‘pihak-pihak yang bersangkutan'. Sehingga bisa ditafsirkan jaksa bisa mengajukan PK. Polly pun harus mendekam 20 tahun di penjara karena pengajuan PK oleh jaksa tersebut.  

 

MK memang menolak permohonan Polly. Namun, dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah menunjukkan sikap dan pandangan mengenai pengajuan PK oleh jaksa. MK berpendapat Pasal 23 ayat (1) tak bisa digunakan dalam perkara pidana seperti yang dialami oleh Polly. Menyangkut perkara pidana, pihak yang berhak mengajukan PK haruslah merujuk kepada Pasal 263 ayat (1) KUHAP, yang telah menentukan keadaan atau syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk mengajukan PK terhadap putusan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, ujar Hakim Konstitusi HAS Natabaya membacakan pendapat Mahkamah.

 

Pasal 263 ayat (1) KUHAP

Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung

Pasal 23 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman

Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan oleh undang-undang.

Tags: