Pertanggungjawaban Korporasi dalam Tindak Pidana Perikanan
Oleh: Rusmana, SH *)

Pertanggungjawaban Korporasi dalam Tindak Pidana Perikanan

Di Indonesia prinsip pertanggungjawaban korporasi (corporate liability) tidak diatur dalam hukum pidana umum (KUHP), melainkan tersebar dalam hukum pidana khusus.

Bacaan 2 Menit

 

Peraturan perundang-undangan yang menganut model ini diantaranya UU No. 7 Drt Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, UU 6/1984 tentang Pos, UU No. 23/1997 tentang Lingkungan Hidup, UU No. 31/1999 jo UU No. 20/2001 tentang Tindak Pidana Korupsi,  dan UU  No. 15/2002 tentang  Tindak Pidana Pencucian Uang.

 

Tindak pidana korporasi bidang perikanan

Selama ini prinsip pertanggungjawaban korporasi tidak begitu populer dalam  penanganan kasus-kasus tindak pidana perikanan.  Meski No. UU 9/1985  tentang Perikanan mengakui adanya Badan Hukum (di samping orang perorangan) sebagai subjek hukum dalam tindak pidana perikanan, namun UU tersebut tidak mengatur lebih lanjut kapan suatu badan hukum dikatakan melakukan tindak pidana, dan siapa yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana tersebut. Akibatnya penanganan kasus-kasus tindak pidana perikanan sulit dituntaskan, khususnya yang  melibatkan pihak korporasi. Pada banyak kasus,  mereka yang diseret kepengadilan hanya pelaku di lapangan seperti nakhoda kapal, kepala kamar mesin (KKM), dan anak buah kapal (ABK), sedangkan pihak-pihak yang berada di belakang mereka (korporasi) nyaris tidak pernah tersentuh. 

 

Titik terang dari persoalan tersebut sebenarnya mulai tampak, ketika diaturnya prinsip pertanggungjawaban korporasi dalam UU No. 31/2004 tentang Perikanan, dimana yang dapat dituntut atas suatu tindak pidana perikanan tidak saja mereka yang merupakan pelaku langsung di lapangan tetapi juga pihak korporasi yang berada di belakang mereka. Sayangnya rumusan prinsip pertanggungjawaban korporasi dalam UU tersebut justru mengalami kemunduran.

 

Dalam Pasal 101 UU 31/2004 disebutkan bahwa:  dalam hal tindak pidana perikanan dilakukan oleh korporasi, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya, dan pidana dendanya ditambah sepertiga dari pidana yang dijatuhkan. Dengan rumusan demikian, meskipun korporasi diakui sebagai pelaku suatu tindak pidana, akan tetapi korporasi itu sendiri tidak dapat dimintakan poertanggung jawaban pidana. Pengaturan demikian akan menimbulkan banyak kelemahan.

 

Logikanya, untuk kasus-kasus tertentu dimana keuntungan yang diperoleh perusahaan sedemikian besar dan/atau kerugian yang ditanggung masyarakat sedemikian besar,   maka pengenaan  pidana penjara/denda hanya kepada pihak pengurus korporasi akan menjadi tidak sebanding. Disamping itu, pengenaan pidana kepada pengurus korporasi juga tidak cukup memberikan jaminan bahwa korporasi tersebut tidak melakukan tindakan serupa di kemudian hari. Dalam kenyataannya, pihak korporasi juga tidak sedikit yang berlindung di balik  korposari-korporasi boneka (dummy company) yang sengaja mereka bangun untuk melindungi  korporasi induknya.

 

Tantangan

Lantas bagaimana prospek penerapan  prinsip pertanggungjawaban korporasi ini ke depan, khususnya dalam penanganan tindak pidana perikanan? Tampaknya masih cukup banyak tantangan yang akan dihadapi. Kelemahan-kelemahan hukum seperti diuraikan diatas, harus diimbangi dengan upaya peningkatan kualitas dan kemampuan para penegak hukum yang akan menerapkannya. Mereka harus mampu dan kreatif untuk melakukan terobosan-terobosan hukum, sehingga persoalan-persoalan tersebut tidak menjadi batu sandungan di lapangan. 

 

Demikian pula mentalitas dan keberanian para penegak hukum akan memegang peran penting, khususnya ketika mereka tidak lagi hanya akan dihadapan dengan pelaku tindak pidana kelas teri (pelaku lapangan), tetapi juga dengan  pelaku tindak pidana kelas kakap yang nota bene memiliki kapasitas – baik duit maupun pengaruh – yang jauh lebih besar.

Halaman Selanjutnya:
Tags: