Perpres Penggunaan Bahasa Indonesia Dinilai Hambat Investasi
Utama

Perpres Penggunaan Bahasa Indonesia Dinilai Hambat Investasi

Diminta untuk direvisi karena banyak ketentuan yang kontraproduktif terhadap kelancaran masuknya investasi, melahirkan ketidakpastian baru hingga berdampak pada hilangnya momentum bisnis.

Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit

 

“Sekalipun tak ada norma sanksi baik di UU maupun Perpres terkait kewajiban pembuatan kontrak dalam bahasa Indonesia terlebih dahulu, saya harus jawab sebagai wakil pemerintah bahwa pelaku usaha itu jelas telah melanggar,” jawab Hendra

 

Ia juga mengingatkan, walaupun tak diatur soal sanksi, Perpres a quo mengamanatkan dilakukannya pengawasan di tingkat Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah demi menjamin kepatuhan akan implementasi kewajiban tersebut oleh Pelaku Usaha. Pemerintah melalui Kemendikbud, bahkan disebut Hendra kini tengah mempersiapkan muatan aturan di tingkat Permen untuk menjabarkan mekanisme pengawasan terhadap implementasi Perpres Bahasa ini. Namun belum diketahui sejauh apa Mendikbud akan mengatur lingkup Pengawasan atas Perpres Bahasa ini ke depannya.

 

Keluhan Pelaku Usaha

Para pelaku usaha yang hadir dalam diskusi mengakui betul buruknya dampak implementasi yang bisa dihasilkan Perpres Bahasa, bahkan disebut bisa mengakibatkan hilangnya momentum bisnis dengan investor. Legal Counsel Pertamina, Kardoman Tumangger misalnya. Pihaknya yang banyak ber-partner dengan pihak asing kerap melakukan negosiasi dan komunikasi dalam bahasa Inggris, mengingat pihak asing tentu akan kesulitan memahami substansi negosiasi bila yang didahulukan adalah komunikasi dengan bahasa Indonesia.

 

“Bila pihaknya terdiri dari berbagai Negara pun, pasti yang didahulukan bahasa Inggrisnya dulu karena mengejar momentum bisnisnya, baru kalau ada waktu diterjemahkan ke bahasa nasional masing-masing,” ungkapnya.

 

Legal OCBC NISP, Mian Herda juga mengeluhkan tidak sesuainya pengaturan pada Perpres 63/2019 dengan kondisi riil kebutuhan pelaku usaha di lapangan, sehingga implementasinya pun akan dirasa sulit. Misalnya saja untuk letter of credit, demand loan dan beberapa jenis kontrak tertentu memang pada praktik di dunia internasional menggunakan bahasa Inggris, sulit bila harus dibentuk dengan bahasa Indonesia. Apalagi terkait dengan sistem swift code yang digunakan perbankan di seluruh dunia untuk berkomunikasi, sangat sulit bila harus di-bahasa Indonesia-kan terlebih dahulu.

 

Swift kan ada keterbatasan sistem karena lebih menggunakan kode-kode dan tidak mungkin menggunakan dua bahasa,” tukasnya.

 

Walaupun tidak ada sanksi, Ia menyadari betul implementasi Perpres 63/2019 tetap akan lari ke pengawasan. Untuk Bank, jelas akan diawasi oleh OJK yang memang berwenang menjatuhkan sanksi kepada Perbankan. Legal counsel Air Asia, Desi Muznavia mengkhawatirkan grey area yang dilahirkan Perpres a quo, mengingat sekalipun tak ada norma sanksi tapi sewaktu-waktu bisa dibatalkan oleh pihak lain bila tidak comply.

Tags:

Berita Terkait