Perkembangan Hukum Pemberantasan Korupsi
Kolom

Perkembangan Hukum Pemberantasan Korupsi

Mulai dari Ketetapan MPR, undang-undang, sampai peraturan menteri.

Bacaan 4 Menit
Evelyn Winarko. Foto: Istimewa
Evelyn Winarko. Foto: Istimewa

Pejabat nagara hingga level Menteri yang terjerat kasus korupsi seolah tidak ada habisnya. Jika melihat indeks persepsi korupsi (corruption perceptions index/CPI) tahun 2022, Indonesia mendapatkan skor 34 dan menempati peringkat 112 dari 180 negara. Hal ini menunjukkan tingkat korupsi di Indonesia masih tinggi. Lebih dari itu, bahkan berada di bawah rata-rata negara lainnya dalam hal kebersihan dan kebebasan dari korupsi.

Korupsi adalah serapan dari bahasa Latini corruptus dan corruption yang berarti buruk, bejat, perkataan menghina, memfitnah, atau menyimpang dari kesucian. Buku Pendidikan Budaya Antikorupsi (2022) oleh Arlis dkk. menyebut pengertian Korupsi menurut Jeremy Pope yaitu “perilaku yang dilakukan oleh pejabat, di mana hal itu secara tidak wajar maupun tidak sah, membuat diri mereka dan orang lain menyalahgunakan wewenangnya”.

Baca juga:

Korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang menimbulkan kerugian besar bagi pembangunan negara dan kesejahteraan masyarakat luas. Pemerintah sejauh ini telah berupaya untuk memberantasnya dengan berbagai peraturan perundang-undangan.

Dasar-dasar hukum pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia dari masa ke masa dimulai dengan UU No.3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-undang ini adalah produk hukum pemberantasan tindak pidana korupsi pertama di Indonesia pada masa Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Namun, undang-undang ini telah dicabut dan tidak berlaku lagi setelah diganti dengan UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Terbit pula Ketetapan MPR No XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Ketetapan MPR ini dikeluarkan pada masa awal reformasi dalam pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid. Pasal 4 Ketetapan MPR ini menjelaskan upaya mendukung pemberantasan korupsi harus dilakukan secara tegas terhadap siapa saja. Pasal 3 Ketetapan MPR ini merupakan landasan hukum pemeriksaaan harta kekayaan milik pejabat oleh lembaga bentukan kepala negara beranggotaan unsur pemerintah dan masyarakat.

Ada juga UU No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Undang-undang ini terbit pada masa Presiden B.J. Habibie. Pasal 1 undang-undang ini merinci pengertian korupsi, kolusi, dan nepotisme. Isinya juga menjadi dasar pembentukan Komisi Pemeriksa, yakni lembaga independen yang bertugas memeriksa kekayaan penyelenggara negara dan mantan penyelenggara negara. Tujuannya untuk mencegah praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme. Undang-undang ini diubah sebagian oleh UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Definisi korupsi secara rinci dikelompokkan menjadi tujuh jenis oleh UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yakni penggelapan dalam jabatan, pemerasan, gratifikasi, suap menyuap, benturan kepentingan dalam pengadaan, perbuatan curang, dan kerugian keuangan negara. Undang-undang ini dirubah sebagian oleh UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait