Perkembangan Hukum Acara Pidana Perlu Segera Diatur dalam Rancangan KUHAP
Utama

Perkembangan Hukum Acara Pidana Perlu Segera Diatur dalam Rancangan KUHAP

Selama 43 tahun KUHAP dipergunakan dalam sistem peradilan pidana, namun banyak perkembangan hukum acara yang belum masuk dalam KUHAP. Berbagai perkembangan hukum acara itu kemudian dimasukan dalam UU khusus yang tersebar di berbagai sektor.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit

Seperti UU No.5 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas UU No. 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi UU. Kemudian UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan lainnya. Hukum acara yang diatur antara lain soal penyadapan dalam UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), dan diversi dalam UU No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).

Hukum acara yang tersebar dalam banyak UU itu menurut Yanto menimbulkan kesan pengaturannya bersifat sektoral. Sebaliknya belum menunjukan pengaturan yang holistik dan komprehensif dalam sistem peradilan pidana secara terpadu. Perbaikan KUHAP ke depan perlu mempertegas kewenangan penuntutan oleh jaksa dengan mempertimbangkan kearidan lokal dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.

“Tujuannya untuk memenuhi rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat,” usulnya.

Masih berkaitan dengan penuntutan, Yanto mengingatkan Pasal 132 KUHP Nasional mengatur gugurnya kewenangan penuntutan. Salah satu sebab gugurnya kewenangan itu karena ada penyelesaian di luar proses peradilan sebagaimana diatur dalam UU seperti diversi, mediasi penal, dan tindakan pemulihan dari pelaksanaan keadilan restoratif yang menyeimbangkan antara kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan.

Peran akademisi

Di tempat yang sama, Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi (Asperhupiki), Fachrizal Afandi  menyorot peran penting akademisi dalam memperbaiki sistem hukum peradilan pidana. Dia menjelaskan salah satu peran akademisi, khususnya dosen di Fakultas Hukum Perguruan Tinggi adalah membidani lahirnya calon aparat penegak hukum. Sebagaimana diketahui aparat penegak hukum merupakan aktor yang utama dalam sistem peradilan pidana.

Akademisi juga diperlukan keahlian dan pendapatnya sebagai saksi atau ahli dalam perkara pidana di pengadilan. Selaras itu, akademisi perlu melakukan pengajaran hukum pidana berbasis HAM. Model pembelajaran dan pemahanan berbasis HAM itu akan mempengaruhi mahasiswa ketika lulus dan mengampu jabatan sebagai aparat penegak hukum.

“Peran dosen penting dalam peradilan pidana. Akademisi melahirkan aktor aparat penegak hukum misalnya aparat di kejaksaan dan kepolisian,” ujarnya dalam acara seminar yang sama.

Peran penting akademisi itu mendorong Asperhupiki menyelenggarakan berbagai kegiatan antara lain Training Tingkat Lanjut Pengajaran Hukum Pidana Berbasis HAM (Terapi HAM). Kemudian seminar soal pemberlakuan KUHP Nasional, yang penting dicermati karena banyak hal yang begeser seperti kebijakan pemidanaan yang sebelumnya bersifat retributif menjadi restoratif.

Selain akademisi, kalangan advokat juga penting dalam sistem peradilan pidana. Afrizal mengatakan advokat merupakan salah satu pilar memastikan adanya akses terhadap keadilan. Para pemangku kepentingan perlu menyiapkan berbagai hal jelang berlakunya UU No.1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Nasional) pada tahun 2026. Aparat penegak hukum, masyarakat sipil, akademisi, dan lembaga donor perlu memperkuat akses keadilan dalam peradilan pidana di Indonesia.

Tags:

Berita Terkait