Para pencipta lagu era 1980 dan 1990-an banyak yang terjebak pada perjanjian jual putus dengan perusahaan rekaman. Akibatnya, banyak yang tidak bisa mendaur ulang lagu mereka karena terjebak pada perjanjian jual putusan lagu tersebut.
Perjanjian jual putus adalah perjanjian yang mengharuskan pencipta menyerahkan lagu untuk dibayar sekaligus di muka oleh perusahaan rekaman. Hak untuk mereproduksi lagu sepenuhnya ada di tangan perusahaan rekaman. Kondisi ini dianggap merugikan pencipta lagu karena tak bisa berbuat apa-apa lagi setelah lagunya dibeli putus perusahaan rekaman.
Bahkan perjanjian jual putus bukan hanya menimpa pencipta lagu. Perseteruan antara Suyadi alias Pak Raden dengan Perum Produksi Film Negara (PFN) mengenai hak cipta boneka si Unyil memperlihatkan lemahnya posisi pencipta dalam perjanjian jual putus.
Karena itu, dalam draf RUU Hak Cipta, masa waktu perjanjian jual putus akan dibatasi. Maksimal digunakan selama 35 tahun. “Setelah 35 tahun harus kembali ke penciptanya,” kata Dirjen Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Kementerian Hukum dan HAM, Ahmad Ramli.
Penegasan itu disampaikan Ramli saat jadi pembicara lokakarya ‘Repositori Lembaga dan Akses Terbuka’ di gedung Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jum’at (25/10) pagi.
Draf RUU Hak Cipta disusun sebagai perubahan terhadap UU No. 19 Tahun 2002. Dijelaskan Ramli, draf RUU tersebut sudah selesai disusun dan sudah diserahkan ke Presiden. Cuma, Istana meminta agar draf itu diparaf oleh tiga Kementerian: Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Perdagangan, serta Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).
UU Hak Cipta yang berlaku sekarang belum membahas perangkat multimedia dan internet. Perangkat multimedia dan internet ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi, ia menjadi alat yang efektif untuk mempublikasikan dan pemasaran hak cipta. Di sisi lain, ia menjadi sarana yang efektif juga untuk pelanggaran hak cipta seperti illegal downloaddari youtube.