Perhimpunan Pendidikan dan Guru Beberkan Kelemahan Substansi RUU Sisdiknas
Utama

Perhimpunan Pendidikan dan Guru Beberkan Kelemahan Substansi RUU Sisdiknas

Seperti adanya pasal yang tertukar antara konsep hak warga negara dengan kewajiban negara, berpotensi melahirkan kastanisasi sekolah, bisnis pendidikan, hingga menghilangkan kualifikasi akademik guru.

Rofiq Hidayat
Bacaan 6 Menit

Kepala Bidang Kajian Kebijakan P2G, Agus Setiawan melanjutkan poin berikutnya. Keempat, terdapat ketentuan “Lembaga Mandiri” yang ikut melakukan evaluasi terhadap siswa sebagaimana diatur dalam Pasal 105. Baginya, evaluasi siswa oleh lembaga mandiri menjadi pertanyaan. Padahal evaluasi siswa cukup dilakukan oleh guru sekolah dan Kemendikbudristek sepanjang formulanya tidak seperti Ujian Nasional (UN).

Dia khawatir pelibatan lembaga mandiri berpotensi menimbulkan proyek rente ujian dan jual beli sertifikat dari lembaga swasta. Sebab, pengakuan evaluasi didasarkan pada sertifikat yang diterbitkan lembaga swasta. Ujungnya, melahirkan bisnis pendidikan yang difasilitasi negara. Bahkan membuka ruang terjadinya praktik kolusi antara lembaga swasta dengan pemerintah.

Kelima, RUU Sisdiknas semestinya menambahkan Bab dan Pasal khusus membahas rencana pendidikan di masa katastrofe. Menurut Agus, berdasarkan pengalaman di masa Pandemi Covid-19 sepanjang 2 tahun, semua pihak harus mampu menyiapkan dunia pendidikan tetaptangguh dalam segala kondisi kedaruratan, bahkan bencana besar.

Keenam, RUU Sisdiknas berpotensi melahirkan “Kastanisasi Sekolah”. RUU tersebut, memperkenalkan entitas baru dalam persekolahan bernama “Persekolahan Mandiri” sebagaimana tertuang dalam Pasal 18 dan Pasal 21. Menurutnya, terdapat perbedaan pengelolaan antara persekolahan (umum/biasa, red) dengan persekolahan mandiri.

Bahkan dalam persekolahan mandiri diperbolehkan mengembangkan kurikulum mandiri. Artinya, sekolah tersebut memiliki keistimewaan mengembangkan standar kurikulum sendiri yang berbeda dari sekolah umum biasa. Pola macam itu persis dengan model Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) yang pernah dibuat pemerintah dan kenyataannya sangat diskriminatif.

Padahal, kebijakan Kemendikbudristek mengenai “Zonasi dalam PPDB siswa” sejak 2017 justru berupaya menghapus kastanisasi dan favoritisme sekolah di tengah masyarakat. Label persekolahan mandiri bakal membuat mahalnya biaya pendidikan. Dengan dalih/alasan mandiri, otonomi dan keistimewaan pengelolaan sekolah, tentu kebutuhannya pun bisa berbeda dari sekolah umum.

“Di sinilah muncul pungutan pendidikan berbiaya mahal (yang dibebankan, red) kepada orang tua siswa. Jalur Persekolahan Mandiri dalam RUU Sisdiknas akan persis seperti RSBI,” ujarnya.

Tags:

Berita Terkait