Perbankan Syariah Masih Mencari Peradilan yang Kompeten
Utama

Perbankan Syariah Masih Mencari Peradilan yang Kompeten

RUU Perbankan Syariah masih menyisakan tanda tanya soal peradilan mana yang berwenang menangani perkara perbankan syariah. Basyarnas bisa jadi alternatif tapi tak bisa diandalkan.

Her/Ycb
Bacaan 2 Menit

 

Merujuk pada UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, persoalan ekonomi syariah memang menjadi kompetensi pengadilan agama. Namun, UU itu sejatinya hanya berkutat di wilayah perdata. Sekalipun pasal 3A UU Peradilan Agama menggariskan adanya kemungkinan diadakan pengkhususan pengadilan, termasuk dalam ranah pidana, tetapi itu hanya berlaku untuk pengadilan syari'ah Islam yang diatur dengan Undang-Undang Mahkamah Syar'iyah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

 

Persoalan lainnya, UU Peradilan Agama biasanya disalah-tafsirkkan hanya diperuntukkan bagi orang Islam. Padahal, penjelasan pasal 49 UU Peradilan Agama menyatakan, yang dimaksud dengan "antara orang-orang yang beragama Islam adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama.

 

Hakim Agung Rifyal Ka'bah menjelaskan, sepanjang menyangkut persoalan perdata, sengketa perbankan syariah harus tetap menjadi kewenangan Pengadilan Agama. Kalau menyangkut persoalan pidana pengadilan umum yang menyelesaikannya, tuturnya.

 

Soal muslim dan non-muslim, bagi Rifyal tak perlu dipusingkan. Menurutnya, kalau sudah mengadakan akad syariah, maka pihak non-muslim harus tunduk pada UU yang ada. Itu berarti mereka telah menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam. Analoginya seperti kaum Tionghoa dulu yang harus tunduk pada BW, meskipun sebenarnya dia tidak termasuk pribumi, jelasnya.

 

Dirjen Peradilan Agama MA Wahyu Widiana menambahkan, dalam konteks ini, ada dua azas yang berlaku, yaitu azas personalitas dan azas penundukan diri. Azas personalitas diaplikasikan untuk akad yang dilangsungkan antara sesama orang Islam. Sedangkan azas penundukan diri diperuntukkan bagi akad antara orang Islam dengan non-Islam.

 

Harus ditelaah dari akad-nya. Kalau dalam perbankan syariah, berarti akad atau perikatannya adalah syariah. Orang non-muslim harus tunduk, kata Wahyu. Dari segi historical background, lanjutnya, sejak UU Peradilan Agama yang baru disahkan, pengadilan agama bisa meng-cover perkara perdata dan pidana. Hanya, tak semua perkara pidana yang bisa dicakup.

 

Wahyu lantas memberi contoh penerapannya di Aceh. Mahkamah Syar'iyah di sana dapat menyidangkan perkara pidana, sepanjang sudah diatur di Qonun, seperti judi, khalwat, atau maysir. Untuk perkara pidana dalam dunia perbankan syariah, kan tidak ada Qonun-nya. Berarti itu jadi kewenangannya peradilan umum, simpulnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags: