Perampasan Tanah Rakyat Melalui Peraturan Hukum yang Timpang
Kolom

Perampasan Tanah Rakyat Melalui Peraturan Hukum yang Timpang

Distribusi lahan untuk Proyek Strategis Nasional dan Pembangunan Infrastruktur hanya akan menguntungkan segelintir orang dan membuat rakyat semakin sengsara.

Bacaan 4 Menit

Bank Tanah “Mengingkari” Reforma Agraria

Walaupun sudah merdeka dari penjajah, akan tetapi Indonesia belum mampu menciptakan susunan masyarakat yang lebih demokratis, sejahtera, adil dan makmur. Sejak bergantinya rezim orde lama ke orde baru, hingga masuk pada era reformasi, negara justru semakin mengarah pada sistem otoritarian. Karakter otoriter negara adalah untuk “memuluskan” pembangunan. Hal tersebut tidak jauh berbeda dengan rezim orde baru.

Berikut persamaan rezim orde baru dengan rezim sekarang dalam penggunaan pendekatan pembangunan. Pertama, mengandalkan modal asing. Kedua, diskriminatif dengan mengorbankan rakyat kecil dan miskin akan tetapi menguntungkan pemilik modal.Ketiga, destruktif, maksudnya merusak lingkungan dan keberlanjutan kehidupan. Keempat, anti demokrasi, pembangunan yang demokratis akan dianggap mengganggu pembangunan itu sendiri, sama halnya dengan kondisi pemerintahan hari ini.

Kemiripan pendekatan pembangunan kedua rezim tersebut semakin nampak ketika munculnya Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2021 Tentang Badan Bank Tanah dan Peraturan Presiden Nomor 113 Tahun 2021 Tentang Struktur dan Penyelenggaraan Badan Bank Tanah yang dianggap kontroversi secara formil dalam proses pembentukannya.

Di sini Penulis tidak akan menjelaskan secara mendetail berkaitan dengan proses pembuatan PP dan Perpres tersebut, akan tetapi Penulis akan mencoba melihat substansi Bank Tanah yang akan memperbesar hilangnya ruang hidup masyarakat akibat perampasan lahan guna kepentingan pemodal serta mengingkari Reforma Agraria.

Sebelum lebih jauh, kita perlu melihat terlebih dahulu tujuan pembentukan Badan Bank Tanah, dalam Pasal 3 PP Nomor 64 Tahun 2021 yang menyebutkan bahwa Bank Tanah mempunyai fungsi a) Perencanaan b) perolehan tanah; c) pengadaan tanah; d) pengelolaan tanah; e) pemanfaatan tanah;dan f)pendistribusian tanah. Perlu diperhatikan bahwa perolehan tanah berdasarkan Pasal 6 adalah perolehan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b berasal dari; a) tanah hasil penetapan pemerintah; dan/atau b) tanah dari pihak lain. Yang dimaksud tanah dari hasil pemetaan pemerintah dijelaskan pada Pasal 7 pada peraturan yang sama, bahwa; Tanah hasil penetapan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a terdiri atas tanah negara yang berasal dari; a) tanah bekas hak; b) kawasan dan tanah terlantar; c) tanah pelepasan kawasan hutan; d) tanah timbul e) tanah hasil reklamasi; f) tanah bekas tambang; g) tanah pulau-pulau kecil h) tanah yang terkena kebijakan tata ruang;dan i) tanah yang tidak ada penguasaan di atasnya.

Bahwa penetapan tanah yang dilakukan oleh pemerintah akan didistribusikan guna kepentingan pengembangan, hal ini berdasarkan Pasal 11 bahwa; penyiapan tanah untuk kegiatan; a) perumahan dan kawasan permukiman; b) peremajaan kota; c) pengembangan kawasan terpadu; d) konsolidasi lahan; e) pembangunan infrastruktur; f) pembangunan sarana dan prasarana lain; g) pematangan tanah untuk mempersiapkan tanah bagi tata kelola usaha Bank Tanah; dan h) proyek strategis nasional.

Dengan lahirnya PP Badan Bank Tanah, menurut hemat Penulis, justru akan semakin melahirkan ketimpangan struktur kepemilikan tanah, diskriminasi dan semakin jauh dari semangat reforma agraria sejati. Perolehan/objek tanah dari bank tanah yang tertera di dalam Pasal 7 PP Badan Bank Tanah, akan semakin mempersempit volume redistribusi lahan kepada masyarakat, hal ini dilihat dari perolehan/objek tanah dari Bank Tanah justru tidak berbeda dengan Objek Tanah Reforma agraria, sebagaimana yang telah termaktub dalam Pasal 7 Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 Tentang Reforma Agraria.

Tags:

Berita Terkait